Asmadi:
Potret Kehidupan Tukang Bakso di Tengah Himpitan Ekonomi yang Semakin Susah.
“Aku ndak mau mewariskan uang kepada anakku, lebih baik aku memberikanpendidikan yang baik agar bermanfaat buat dirinya, sekelilingnya dan mereka bisa kerja dengan bekal ilmu yang telah mereka pelajari”
Asmadi, atau yang lebih dikenal dengan Pak Di merupakan salah satu sosok kepala keluarga yang mengerti betul akan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Ditengah sulitnya perokonomian yang melanda Negara Indonesia, Asmadi terus berjuang menghidupi keluarga dengan bersandarkan pada hasil penjualan bakso di salah satu Sekolah Menangah Atas Negeri (SMAN) I Turen. Menjadi penjual bakso di kantin sekolah bukanlah hal yang mudah. Banyak halangan dan rintangan telah ia lalui hingga ia mampu bertahan untuk berjualan di kantin sekolah sampai sekarang. Semua dilakukan sebagai bentuk tanggungjawabnya sebagai seorang ayah dan kepala rumah tangga.
Bertempat tinggal di salah satu desa sedayu, kecamatan Turen, Malang, sebuah desa yang begitu dekat dengan pabrik satu-satunya pembuat alat persenjataan, Pak Di mengarungi kehidupannya bersama seorang istri yang begitu ia cintai bersama kedua anaknya. Namun, kini ia harus rela berpisah dengan kedua anaknya lantaran anak pertamanya merantau ke Jakarta untuk bekerja sedangkan anak keduanya merantau ke kota Malang untuk menuntut ilmu.
Pak Di sebagai seorang ayah yang menginginkan apapun yang terbaik buat menyiapkan masa depan anaknya, ia bekerja dengan keras mengais rezeki dengan berjualan bakso. Begitu banyak suka dan duka yang telah ia lalui selama berjualan bakso. Sebelum akhirnya berjualan bakso hingga sekarang, berbagai macam pekerjaan telah ia coba dan ia lakoni untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin bertambahnya tahun semakin mahal yang ditanggungnya.
***
Lahir dari keluarga dengan latar belakang orang tua petani di desa Sumbermanjing, Kabupaten Malang dengan kondisi ekonomi yang sulit inilah yang membuat Pak Di nekat untuk merantau ke Kota. Dengan usianya yang masih sangat muda dan masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) kelas lima ia memberanikan diri untuk merantau ke kota, lebih tepatnya kota Malang. Dari sinilah ia terlatih untuk menghidupi dirinya dengan mengawali hidup dan mengais rezeki dengan menjadi pembantu rumah tangga.
Hanya beberapa bulan ia bertahan bekerja menjadi pembantu rumah tangga. Pak Di mencoba pekerjaan yang lain yakni menjadi kuli di sebuah toko daerah Kepanjeng dimana ia harus mengirim minyak tanah dari satu toko ke toko yang lainnya. Cukup lama ia bertahan dengan pekerjaannya yang satu ini, bergelut dengan udara yang panas, berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain, sampai suatu saat selang satu tahun usia pernikahannya dengan istrinya ia mendapatkan tawaran pekerjaan yang cukup menjanjikan. Satu tawaran datang dengan ajakan untuk usaha bersama menjual bakso di sukabumi dan satu lagi tawaran untuk menjadi supir di Arab Saudi.
Dua pilihan yang sangat sulit untuk ditentukan lantaran jauhnya jangkauan yang akan ditempuhnya. Persoalan jarak yang jauh inilah penyebab tidak direstuinya oleh sang kakek untuk bekerja. Akan tetapi atas pertimbangan kesejahteraan yang akan didapatkannya kelak inilah akhirnya suami dari Mardiyah memutuskan untuk merantau ke Sukabumi. Itu artinya ia memilih mengadu nasib kedaerah lain dan menerima tawaran yang pertama. “Tak hanya bekerja saja, saya juga belajar untuk membuat bakso dengan cita rasa yang khas, waktu itu yang saya pikirkan mungkin saya juga bisa membuka usaha yang sama suatu saat nanti, ” jelasnya.
Ternyata dewi fortuna berpihak kepadanya ketika informasi datang dari adiknya yang mengatakan, di desa Sedayu, tempat tinggalnya sekarang akan dibuka sebuah pabrik yang cukup besar dan kemungkinan untuk buka usaha cukup menjanjikan. Bermodalkan hasil kerjanya di sukabumi, Pak Di bersama istri nekat kembali ke kampung dan membuka lahan usaha bakso disekitar Pabrik tersebut. Kembali Pak Di dihampiri malaikat tanpa sayap yang memberikan kesempatan untuk berjualan di kantin sekolah SMAN 1 Turen yang baru selesai dibangun. “Alhamdulillah setelah melalui beberapa proses penyeleksian dari pihak sekolah, saya salah satunya dari ketiga calon penjual yang terpilih untuk mengisi lahan kantin sekolah,” ungkapnya.
“Daripada saya terus menjadi kuli yang penghasilannya tak menentu dan tak berkembang, lebih baik saya punya usaha sendiri yang bisa saya pegang dan saya jalankan,” ucapnya.
****
Sebenarnya dari lubuk hati paling dalam, ia begitu menginginkan untuk meneruskan sekolah hingga tingkat atas. Namun, ternyata Tuhan berkehendak lain, ia harus putus sekolah ditengah-tengah semangatnya anak kecil menuntut ilmu. Untuk sekolah saja ia harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dari rumahnya dan ia terlebih dahulu harus membantu orang tuanya untuk mencari rumput sebagai pangan sapi ternaknya. Ia harus menempuh perjalanan sekitar 10 km menuju sekolah, Pak Di tak pernah mengeluhkan hal ini karena inilah sesungguhnya yang ia harapkan.
Akan tetapi keinginannya untuk lanjut sekolah tak semulus apa yang ia inginkan, kondisi ekonomi keluarga kala itu berkata lain dan menuntutnya untuk menangguhkan keinginananya menuntut ilmu. Rasa sedih berkecamuk ketika ia melihat anak-anak yang berangkat sekolah sementara ia harus bekerja sebagai pembantu rumah tangga, “Pengen nangis rasanya ngelihat anak-anak sekolah, sementara Pak Di harus terus ngelap kaca rumah sebagai tanggung jawab kulo waktu itu,” ucap Bapak kelahiran 53 tahun yang lalu.
“Sejak itulah saya bertekad untuk merealisasikan keinginan saya untuk menuntut ilmu di bangku sekolah ya dengan menyekolahkan anak-anak saya sekarang sesuai minat mereka,” ucap bapak dari tiga anak ini.
***
Meskipun ia hanya tukang bakso yang menyandarkan segala kebutuhan lewat hasil dagangannya dikantin sekolah, lantas tak membuat dirinya mengurungkan niat untuk menyekolahkan anaknya. Bahkan berhutang-pun ia lakukan agar kebutuhan sekolah anak-anaknya dapat terbayar tepat waktu. Sebagai orang tua, Pak Di selalu menginginkan yang terbaik buat anaknya dan tak pernah memaksakan kehendak dirinya terhadap anaknya untuk menggeluti bidang tertentu.
Beban biaya yang ditanggung Pak Di mulai berkurang ketika anak pertamanya lolos seleksi masuk Sekolah Tinggi Akutansi Negara (STAN) di D1 Perpajakan. Ia tak lagi membayar penuh biaya hidup di jakarta, karena anak pertamanya bertemu dengan malaikat tanpa sayap yang memberinya tempat tinggal secara gratis. Setelah anak pertamanya lulus-pun beban biaya pendidikan untuk adiknya yakni anak kedua terbantukan dengan sedikit penghasilan dari hasil dinas kerja sang kakak di dilembaga perpajakan Republik Indonesia. “saya bersyukur kedua anak saya dapat mengenyam pendidikan, jadi cita-cita saya kini sudah terwujud lewat anak-anak saya,” ujarnya.
Memang dalam kehidupan tak selamanya berjalan mulus, terkadang halangan dan rintangan pun jugaditemukan dalam perjalanan hidupnya sebagai tukang penjual bakso, dari sabotase hingga peneroran dengan makhluk gaib yang datang dari pedagang lain yang iri kepadanya. Beruntung Pak Di dapat melewati masa-masa sulit itu. Kebanyakan pelanggannya sangat percaya lantaran kejujurannya selama ini ketika berjualan. Tak pernah sedikitpun ia melakukan kecurangan-kecurangan yang mungkin saja dilakukan penjual bakso lainnya. Pak Di mencoba memberikan cita rasa yang khas pada baksonya tanpa menggunakan bahan yang berbahaya.
“Hidup memang tak selamanya diatas, ada saatnya kita berada di bawah dan mengalami cobaan-cobaan dari berbagai arah, Jalani saja semua dengan tetap mengingat bahwa semua masalah pasti ada solusinya,” pungkasnya. Bapak penjual bakso ini begitu berbeda dalam menyikapi permasalahan yang ada, terutama soal pentingnya pendidikan. Ia begitu yakin bahwa dirinya mampu mengantarkan anaknya ke pintu kesuksesan, dan terbukti kini anak pertamanya bekerja di dinas Perpajakan RI sedangkan anak keduanya masih menempuh pendidikan di bangku perkuliahan. Kalau tukang bakso saja dengan rilex dan santainya menghadapi persoalan hidup dan berusaha memberikan masa depan yang baik buat anak, kenapa orang yang mempunyai penghasilan lebih darinya tak mampu???4p_eny
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H