Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Dosen - Praktisi Ayur Hyipnoterapi dan Ananda Divya Ausadh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Praktisi Ayur Hypnotherapy dan Neo Zen Reiki. Menulis adalah upaya untuk mengingatkan diri sendiri. Bila ada yang merasakan manfaatnya, itupun karena dirinya sendiri.....

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tampak Luar Membuat Cara Pandang Terpecah Belah

24 Desember 2021   08:20 Diperbarui: 24 Desember 2021   08:31 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wejangan para suci bagaikan tiupan angin musim semi.

               Jangan mempersoalkan bahasa mereka.

Keras atau pelan, kasar atau lembut -- dua-duanya sama,

        mampu membebaskan kamu dari kesadaran hewani.

                           ~ Anand Krishna,  Svarnadvipa

Sering kali, bahkan kebanyakan dari kita ketika diberitahu tentang suatu kebajikan dan cara melakukannya selalu menanyakan siapa yang memberitahu. Ketika ada yang menjawab bahwa yang mengatakan adalah si Fulan, kemudian kita masih saja melanjutkan pertanyaan, 'Agama atau kepercayaan dia apa?'

Inilah ulah kita. Ulah dari pikiran yang selama ini terdoktrin oleh pola pemikiran yang mengkotakkan. Pikiran yang memisahkan berdasarkan baju, keyakinan atau pun kepercayaan. Kita lupa bahwa saat lahir tiada satupun dari kita yang diberikan bekal di tubuh kita kepercayaan. Kita lupa bahwa kita mengenal keyakinan atau kepercayaan disematkan pada identitas kita saat setelah bergaul. Ketika kita hidup di dunia. Lucunya lagi, saat kita atau tubuh kita tidak lagi bernafas alias tewas, orang sekeliling kita masih bersikukuh memperlakukan jasad kita dengan ritual tertentu.

Kita lupa bahwa si mati tidak bisa lagi protes. Pikiran atau ego kita/sekelompok yang merasa kerabat dekat merasa bisa mendorong si mati agar bisa masuk tempat yang menurut kita 'mulia' dengan memberikan perlakuan dengan cara tertentu. Kita melupakan kekuasaan Nya sebagai Sang Hakim Agung. Dia yang Maha Kuasa menentukan bagaimana nasib dan mau diperlakukan seperti apa roh si mati. Kita selalu saja masih merasa lebih berkuasa daripada Sang Maha Kuasa. Bahkan hanya karena ingin memperlakukan jasad si mati dengan ritual tertentu, kita bisa berkelahi dan saling mencaci maki sesama kita. Kita sama sekali lupa bahwa Tuhan yang bersemayam dalam diri kita juga berada dalam sesama atau tetangga kita.

Gara-gara kita mempersoalkan bahasa, suku, kepercayaan si orang yang menyampaikan pesan suci, kita lupa bahkan mengabaikan pesan suci yang bila kita lakukan atau terapkan bisa membuat diri kita baik. Masih saja lupa kita saat kita bertanya pada seseorang arah tempat yang kita tuju pada seseorang, ketika kita tersesat dalam suatu perjalanan, kita harus mengikuti arah yang dirunjukkan orang tersebut. Ketika kita hanya memperhatikan pada orang yang memberi petunjuk, kita tidak bakalan sampai ke tempat atau tujuan yang kita inginkan.

Pesan para suci, siapapun itu, apapun keyakinan dia. Dan apapun sukunya, pasti baik jika kita menjalankkannya. Bila kita me-implementasikan dalam keseharian. Mungkin ada yang bertanya, bagaimana kita tahu bahwa pesan tersebut baik bagi kita???

Sangat mudah, apakah yang disampaikan selaras dengan sifat alam. Sifat alam yang bagaimana? Tentu sifat alam hanya satu, saling mengasihi dan berbagi. Saat kita me-implemtasikan pesan tersebut, apakah kita bahagia? Dan apakah yang kita berikan perlakuan juga bahagia? Ketika ke duanya merasakan kebahagiaan, itulah pesan para suci. Namun satu yang harus digaris bawahi, pesan yang disampaikan tidak membuat orang lain sengsara atau pun menderita. Bukan hanya sesama manusia, tetapi sesama mahluk hidup.

Mengapa demikian???

Para suci atau pun para avatar memiliki jiwa yang satu dan sama. Jiwa Yang Maha Tunggal adanya. Jiwa yang bersifat menyatukan. Inilah bedanya dengan pikiran manusia yang masih berlandaskan ego atau mind.

Mind atau ego manusia masih berorientasi badan, orientasi yang tampak secara fisik. Kita masih melihat dengan pandangan yang bisa diraba atau disentuh. Sama sekali kita lupa akan Kasih Nya yang menyatukan. Kita juga lupa bahwa tanpa kehadiran Nya dalam setiap tubuh manusia, badan tersebut tidak hidup dan bergerak. Sesungguhnya lah Dia Yang Maha Menggerakkan. Ego atau mind memiliki sifat memecah belah. Inilah sebabnya mind harus diubah menjadi intelejensia, kecerdasan Ilahi. Kecerdasan yang menyatukan. Intelejensia juga yang ada dalam setiap sel tubuh kita. Inilah sebabnya sel di tubuh kita bisa menyatu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun