Bila seseorang yang mengalami mati suri belum bisa mentransformasi intelektual menjadi intelejensia, maka yang bisa diceritakan setelah ia sadar hanyalah pengalaman yang berorientasi intelektual atau pikiran. Yang menurutnya benar. Karena memang hanya sampai tahap tersebut kemampuan daya inteleknya.
Sangat berbeda bagi seseorang yang sudah memiliki bekal intelejensia yang lebih matang. Pengalaman mereka hanya untuk diri mereka sendiri. Yang beda adalah perilaku kesehariannya. ia lebih banyak menerapkan laku yang bermanfaat bagi sesamanya. Ia sadar bahwa yang disebut jiwa satu dengan lainnya tidak terpisahkan. Ibaratnya sinar matahari. Ketika memantul ke dalam satu ruangan, kemudian disebut sebagai cahaya.
Ruang ini adalah tubuh kita. Cahaya yang ada dalam tubuh kita merupakan pantulan sinar yang di luar tubuh. Tidak ada sinar matahari tanpa adanya matahari. Jiwa yang bersemayam dalam tubuh disebut sebagai jiwa individu. Asal dari cahaya yang di ruangan disebut sebagai sinar, kumpulan cahaya. Ini yang disebut sebagai purusha. Â Kumpulan jiwa individu. Asal sinar dari matahari. Asal purusha adalah Sang Maha Jiwa.
Sang jiwa tidak memiliki bentuk. Ia bisa memanifestasikan diri dalam berbagai wujud. Sesuatu hal yang di luar jangkauan pikiran serta perasaan atau mind. So, yang bisa dikisahkan oleh mereka yang mengalami mati suri sebatas kemampuan memori yang ada dalam mind mereka.
Segala sesuatu yang di atas hanya sebagai pandangan saya. Bila pembaca memiliki pandangan lain, itu juga salah satu sisi kebenaran. Bukankah kebenaran memiliki banyak sisi????
Mengingatkan saya dengan pesan seorang utusan: 'Kebenaranku bagiku Kebenaranmu bagimu'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H