Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Dosen - Praktisi Ayur Hyipnoterapi dan Ananda Divya Ausadh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Praktisi Ayur Hypnotherapy dan Neo Zen Reiki. Menulis adalah upaya untuk mengingatkan diri sendiri. Bila ada yang merasakan manfaatnya, itupun karena dirinya sendiri.....

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sesajen: Takhayul atau..........

5 Oktober 2021   10:22 Diperbarui: 5 Oktober 2021   10:25 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sesajen merupakan tradisi leluhur kita. Laku persembahan ini sampai saat ini masih dilakukan di beberapa tempat. Yang masih kental di Bali. Dan juga di desa-desa. Sangat sedikit kita lihat di kota-kota besar atau masyarakat yang sudah mengadopsi kepercayaan dari luar. Tradisi seperti sesajen ini merupakan warisan leluhur nusantara. Inilah peradaban luhur yang me-apresiasi dan bersyukur atas berkah yang diterima oleh kita semuanya.

Dari buku: KERAS LEMBEK OKE DUA-DUANYE!!!!! oleh Anand Krishna:

 Warga Bumi di seluruh dunia memiliki tradisi persembahan kepada Hyang Maha Kuasa, Tuhan, Gusti, atau apa pun sebutannya, sebagai UNGKAPAN TERIMA KASIH dan rasa SYUKUR atas segala berkah pemberian-Nya.

Di wilayah peradaban kita, umumnya sesajen berupa bunga, dupa, dan buah-buahan. Celakanya, banyak di antara kita tidak memahami signifikasi di balik tradisi tersebut, dan malah menganggapnya TAKHAYUl.

Sementara itu, persembahan.......dianggap betul. Padahal, sesajen dalam bentuk bunga, dupa dan buah-buahan bermaksud untuk melembutkan jiwa dan menciptakan suasana hati penuh doa, dan rasa syukur - to be in a prayer mood and gratitude always - tanpa merusak alam, atau melukai sesama makhluk hidup.

Kita mengabaikan tradisi para leluhur, dan mengadopsi kebiasaan-kebiasaan baru yang belum tentu cocok dengan kepribadian kita.

Para leluhur kita melakukan persembahan sesajen seperti bunga pun karena rasa syukur. Bunga yang dipersembahkan pada pratima (patung) sebagai ungkapan terima kasih. Mari kita perhatikan bentuk pratima. Perwujudan yang indah karena yang membuat bentuk atau perwujudan tersebut dengan rasa keindahan. 

Mungkin ada yang membuat dalam bentuk yang jelek. Bentuk itu pun sesungguhnya mewakili perwujudan dari yang tidak selaras dengan alam. Bentuk-bentuk seperti itu merupakan suatu pengakuan bahwa segala yang di dunia atau alam ini terdiri dari dua sifat: BAIK dan BURUK. Oleh karena itu, perwujudan yang disembah pun ada dua. Ketika kita melakukan persembahan sesungguhnya menunjukkan cerminan yag ada di dalam diri kita.

Bila kita senang atau mencintai keindahan, maka pratima yang kita berikan persembahan pun berwujud keindahan. Rasa kelembutan jiwa kita mendorong kita untuk meyembah perwujudan atau manifestasi yang membawa rasa kita untuk menjadi lembut. Misalnya kita mempersembahkan bunga pada pratima Saraswati (yang mewakili dewi ilmu pengetahuan, musik, dan seni). Maka bunga yang kita persembahkan seharusnya yang sudah jatuh ke tanah dan masih segar. Biasanya di pagi hari ada bentuk bunga seperti ini. Bukan memetik dari dahannya. Karena memetik pun merupakan suatu tindakan kekerasan; mengambil yang belum waktunya jatuh.

Bagi para leluhur, persembahan bunga berarti bersyukur atas terciptanya bunga yang indah. Bunga berasal dari Dia dan dipersembahkan kepada Dia. Ketulusan ini lah yang semestinya ada dalam diri kita. Kita tidak mengharapkan imbal balik, tetapi sebagai ungkapan rasa syukur. Pola persembahan seperti ini bukanlah pola persembahan perdagangan; aku mempersembahkan sesuatu dan aku mengharapkan balasannya.

Demikian pula sesajen persembahan setelah panen raya. Biasanya di larung atau dihanyutka ke laut. Yang makan juga ikan-ikan di laut. Kita bukan minta sesuatu karena mempersembahkan tetapi ungkapan syukur atas hasil panen sehingga kita bisa makan. Rasa ini yang diharapkan menjadikan diri kita lembut dan penuh rasa kasih sayang. Inilah hidup yang selaras dengan alam. 

Demikian pemahaman saya mengenai SESAJEN......

Bila ada yang memiliki pemahaman berbeda, itu pun tidak salah. Karena setiap pemahaman merupakan pilihan masing-masing. Tinggal kita melihat, apakah tujuan akhir dari persembahan membuat kita semakin lembut atau semakin keras. Kelembutan adalah sifat kemuliaan........ karena tidak merusak alam.........

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun