"Pikiran jahat manusia dapat menimbulkan perubahan zat kimia psikologis, menghasilkan sejenis racun dalam darah. Dalam kondisi hati yang normal, seseorang menghembuskan udara dari mulut ke sebuah gelas, dinding gelas akan terselimuti sejenis zat bening, namun ketika seseorang dalam perasaannya diliputi kebencian, marah, teror dan iri hati, zat yang melekat di dinding gelas akan timbul warna yang berbeda, melalui analisa kimia diketahui, pikiran manusia yang negatif, cairan dalam tubuhnya akan menghasilkan semacam zat racun".
Penggalan dari sini.
Itulah keadilan Tuhan. Semua pikiran, ucapan, dan bahkan perbuatan buruk terhadap sesama serta lingkungan langsung dibalas saat itu juga. Bukankah dunia ini dasar hukumnya adalah AKSI - REAKSI. Sebab akibat. Dalam semua kitab suci dituliskan bahwa: Setiap manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Tidak satupun kalimat menyatakan bahwa perbuatan buruk bisa dikurangi oleh perbuatan baik.
Jika ada seorangpun memiliki pendapat bahwa perbuatan buruknya dapat dikurangi oleh perbuatan baiknya, dapat dipastikan pendapatnya hanya berlandaskan pikirannya sendiri. Banyak bukti ilmiah yang membuktikan bahwa seseorang yang memiliki pikiran, ucapan, dan perbuatan buruk yang mengalami kerusakan adalah dirinya sendiri.
Pikiran, ucapan, maupun perbuatan buruk yang ditujukan terhadap orang lain bagaikan ulah perilaku seorang jagal. Sayangnya, ia tidak sadar bahwa ia sedang dalam proses penjagalan terhadap diri sendiri. Pikiran yang merusak adalah pikiran-pikiran yang mengutamakan kepentingan atau kepuasan yang bersifat indrawi.
Pikiran yang berlandaskan pemuasan syahwat. Ia lupa bahwa tujuan keberadaan manusia di bumi adalah untuk memuliakan sang jiwa.
Mereka yang selama hidupnya memuaskan syahwat badaniah sesungguhnya belum menyadari hakekat dirinya. Ia lupa bahwa dalam badannya bermukim percikan Sang Jiwa Agung.
Pemuasan syahwat badaniah juga termasuk yang hanya mengutamakan gerakan Tuhan. Celakanya, mereka yang rajin beribadah ke rumah ibadah masih pada tingkat atau level pamer. Memang tidak semua orang memiliki pemikiran demikian. Namun, realitanya sering terjadi bahwa kesadaran pada lapisan luar masih banyak diikuti oleh masyarakat luas. Sedikit yang berani memasuki ranah dunia pengembaraan individu atau inner journey. Dunia hakekat. Dibutuhkan keberanian untuk menempuh jalan yang penuh onak dan duri.
Sumber: Koleksi Pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H