"Rika sudahlah. Lebih baik kita sekarang menyadari semuanya. Kita masih bisa bersahabat." Kataku menghiburnya di tengah isak tangisnya.Â
Aku mencoba memeluknya, malah tangisnya semakin menjadi-jadi. Tetes-tetes air matanya membasahi lenganku. Aku tatap wajahnya yang bersimbah air mata.Â
"Rika keluargamu jauh lebih penting. Kamu harus bisa menghadapi ujian ini." Hiburku. Erika masih menangis dalam pelukanku. Bahunya sampai berguncang karena isak tangisnya.Â
Menghadapi situasi ini, aku harus sebisa mungkin menahan kesedihan yang sama seperti yang Erika rasakan. Malam itu Purnamapun yang seharusnya bersinar penuh, terhalang gumpalan awan hitam sehingga cahayanya hilang dalam kegelapan.Â
Kisah cinta yang tragis karena harus berakhir terhalang perbedaan keyakinan. Aku baru menyadari hal ini ketika masih SMA.Â
"Rika, bagaimana dengan pendapat Ayah dan Ibu?" Aku bertanya tentang sebuah hubungan yang berbeda keyakinan.Â
"Ayah dan Ibu kan selalu baik sama kamu."Â
"Bukan itu. Maksudku apakah Ayah dan Ibu merestui kita walaupun ada perbedaan keyakinan?" Â Mendengar pertanyaan ini Erika hanya terdiam sambil memandangku dengan sorot mata tajam.Â
Selama ini kedua orang tua Erika selalu menyambutku dengan baik karena mereka adalah penganut Katolik yang taat menjaga hubungan baik. Ayahnya, Pak Suseno, sangat ramah padaku dalam setiap perbincangan.Â
Namun akhirnya perpisahan itu tetap terjadi antara aku dan Erika pada saat dua insan ini beranjak dewasa. Aku tetap kagum kepada Pak Suseno, Ayah Erika yang sangat bijak memberitahukan kendala perbedaan keyakinan antara aku dan putrinya
Untuk melupakan kesedihan ini, pada awalnya aku ingin memutuskan pindah kuliah di Kampus lain saja. Sebab selama masih satu Kampus dengan Erika, aku tidak mungkin bisa move on.Â