Para sopir taksi mematok tarif tersebut karena memang banyak yang membutuhkan angkutannya menuju Masjidil Haram.
Ketika kemacetan sudah parah di jalan-jalan menuju Mekkah (Masjidil Haram), Taksipun banyak yang menolak penumpang karena kemacetan tersebut.
Rupanya hal ini dimanfaatkan oleh para pengemudi ojek dadakan. Umumnya mereka adalah orang Banglades dan Pakistan.
Sepeda motornya saja yang digunakan sebagai Ojek kondisinya seadanya. Ojek ini akhirnya banyak dicari juga oleh para Jamaah untuk menuju Masjidil Haram, walaupun mereka tidak bisa diturunkan di area terdekat Masjid hanya boleh masuk sekitar 1 km sebelum Masjid atau di sekitar Terminal Gaza atau Syieb Amir.
Tawar menawar ongkos ojek saat kepadatan kota Makkah seperti itu ada pada kisaran 15-30 SR. Saat itu Kurs  1 SR senilai dengan Rp 4000.Â
Padahal ongkos itu adalah tarif Taksi dari Syisyah atau Jamarat pada kondisi normal hanya 15 - 20 SR saja.
Bagi para pengemudi Ojek dadakan yang umumnya orang-orang Banglades dan Pakistan, hari itu memang hari panen bagi mereka. Satu hari mereka bisa mengantar rata-rata 5 sampai 10 orang jamaah.Â
Penghelatan haji selalu saja memberi manfaat bagi orang-orang kecil. Fenomena Ojek di Makkah ini menunjukkan bahwa moda transportasi ini bisa berada dimana-mana pada saat keadaan lalu lintas dalam keadaan darurat.
Di Indonesia kondisi lalu lintas kota-kota besar selalu dalam keadaan darurat karena kemacetan sudah merupakan rutinitas setiap hari.
Jika ada Ojek beroperasi adalah hal yang wajar dan masyarakat banyak yang tertolong dengan mode transportasi ini.Â
Demikian pula di Makkah. Bedanya ojek di sana hanya dadakan dan setelah musim haji berakhir mereka para sopir ojek itu kembali ke profesi mereka sebagai tenaga proyek.Â