Ketika akhirnya kesadaran mulai terkuak, maka ada rasa sesal sangat mendalam. Jiwa yang terhina berada di lembah nista, berlumur dosa.Â
Jiwa yang tercampak dari rasa hormat, terengut dari kemuliaan. Maka hadirlah rasa takut. Takut akan murkaNya. Takut akan NerakaNya. Takut akan AzabNya.Â
Ketika akhirnya kesadaran mulai terkuak, maka ada rasa sesal yang mendalam. Anehnya rasa takut itu semakin mendera jiwa yang rapuh ini. Bukankah Tuhan itu Maha Pengampun? Â Benarkah berbaik sangka dengan rasa harap adalah kunci dan solusi?Â
Saatnya harus berbaik sangka, barharap dengan cemas ampunanNya. Ingat pesan indah dari RasulNya:" Janganlah sekali-kali salah seorang diantara kalian mati, kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Tuhannya."
Ingat perkataan para orang bijak bahwa buah rasa harap adalah kegairahan meminta dan memohon kepada PertolonganNya. Sedangkan buah rasa takut adalah semangat untuk menjauh dari dosa dan MurkaNya.Â
Sementara orang yang patuh yang selalu menyendiri bersama Allah, maka rasa takut dan rasa harapnya tetap seimbang. Benar rasa takut itu harus dikuasai oleh rasa harap.
Dengar perkataan Khalifah Umar bin Khatab :Â " Andaikata seluruh manusia dipanggil Allah untuk masuk surga kecuali satu orang. Maka aku takut orang itu adalah aku. Dan, andaikata semua manusia dipanggil Allah untuk masuk ke dalam nerakaNya, kecuali satu orang. Maka aku berharap orang itu adalah aku."
Aku masih termenung bersama rasa harap dan rasa takut yang saling melengkapi jiwa ini. Sementara hatiku selalu berbaik sangka kepada Allah, Penguasa Mutlak Kehidupan.
*Terinspirasi dari Teosofia Al Quran, Imam Al GhazaliÂ
@hensa