Tidak bisa dihindari jalan terjal itu ada di hadapan mata. Penuh onak dan duri dan beribu kerikil di atasnya.
Tidak lelah kaki tanpa alas ini, terus mendaki menuju puncak melalui jalan itu. Darah dan nanah bukan lagi jadi aral yang merintangi tujuan luhur ini. Hanya sendiri saja menyusuri keterasingan yang penuh dengan hadangan dera dendam.
Menyeberangi sungai yang airnya penuh dengan lumpur maksiat dan dosa. Adakah jalan lain selain yang kulalui ini?
Setiap bertanya tentang ini maka jawabannya hanya di jalan ini. Selalu di jalan ini. Tidak ada jalan yang lain.Â
Jikapun ada maka itu menuju pusaran yang menelan segala angan. Penunjuk arah pun hilang jejak karena terbawa mata angin.Â
Aku hanya termangu berpangku lutut dengan mata nanar memandang kebimbangan. Tersudut dua pilihan di antara tebing tinggi dan jurang curam. Tidak ada pilihan.Â
Adakah jalan lain selain yang kulalui ini? Â "Kau memang bodoh, kenapa tidak kau cari jalan lain?"
Tidak perlu jawaban dari pertanyaan tanpa rasa itu.
Tetap langkah kaki ini tegap telusuri jalan itu menuju ke Satu Titik.
Kematian.Â