Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Fabel, Kisah Burung Garuda di Sarang Ayam Kampung

7 Januari 2021   15:59 Diperbarui: 7 Januari 2021   16:20 1716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah Burung Garuda yang lahir di Kandang Ayam adalah cerita fabel yang sangat mengharukan. Garuda atau Elang adalah spesies yang sama. Sebutan Garuda berasal  dari mitologi Hindu yang menjadikan burung ini adalah kendaraan Dewa Wisnu.

Dilansir dari Britannica.com (2/1/21), Garuda adalah seekor burung yang menyukai  terbang melintasi langit seakan sebagai penguasa cakrawala. Kisah mitologis kelahiran Garuda di Mahabharata mengidentifikasikannya sebagai adik dari Aruna, kusir dewa matahari, Surya.

Ibu Garuda, Vinata, adalah ibu burung, ditipu untuk menjadi budak saudara perempuan dan rekan istrinya, Kadru, yaitu ibu dari ular naga. Permusuhan abadi antara burung, terutama Garuda, dan ular dikaitkan dengan hal ini.

Para naga setuju untuk melepaskan Vinata jika Garuda dapat memberikan mereka minuman ramuan keabadian, amrita, atau soma.

Garuda melakukan hal itu, dengan demikian memberikan kemampuan ular untuk mengelupas kulit lamanya, dan, dalam perjalanan kembali dari surga, dia bertemu Wisnu dan setuju untuk melayani dia sebagai kendaraannya dan juga sebagai lambangnya.

Itulah sekilas cerita sejarah permusuhan antara Garuda dan Ular seperti dikutip dari Britanica.com (2/1/21).

Di Negeri kita Garuda adalah burung Elang yang digambarkan dengan paruh tajam, mata bulat, sayap emas, dan empat lengan dan dengan dada, lutut, dan kaki seperti layang-layang.

Sahdan kisah berawal dari permusuhan abadi antara burung Elang dan Ular seperti hikayat di awal cerita.

Di atas pohon rimbun, Elang marah besar ketika dia melihat telur-telurnya sedang disantap oleh seekor ular Sanca.

Dengan berbagai kekuatan paruhnya yang tajam Elang menyerang Sanca. Setiap serangan penuh dengan kemarahan dan dendam.

Namun Sanca adalah ular besar yang terlalu tangguh. Bahkan Elang harus berjibaku dengan tetesan darah dan bulu-bulu di sayapnya cerai berai.

Telur-telur itu hampir saja habis dilahap Sanca musuh bebuyutan Elang. Dalam ketidak berdayaannya, Elang masih sempat menyelamatkan sebuah telur.

Dengan kedua kakinya yang kokoh dicengkramnya telur tersebut.  Elang terbang tanpa tujuan sementara luka-luka di tubuhnya semakin parah. Akhirnya Elang mendarat di sebuah kandang Ayam. Sang Elang akhirnya mati karena tidak mampu bertahan dari luka-lukanya yang sangat parah.

Sore itu Induk Ayam baru saja pulang ke kandangnya. Induk Ayam itu heran ada telur yang terpisah dari sarangnya. Dengan cekatan telur itu dikembalikan lagi ke sarangnya. Induk ayan tidak tahu bahwa telur itu adalah telur burung Elang.

Tujuh belas telur itu akhirnya menetas. Satu diantaranya adalah telur burung Elang. Mahluk kecil yang sangat lucu menggemaskan. Induk Ayam seringkali mengamati anak-anaknya.

Seekor anaknya berbeda dengan 16 anak lainnya. Induk Ayam tidak pernah berfikir jika itu adalah anak seekor Elang. Semakin besar maka semakin jelas perbedaan mereka.

Anak Elang itu berbulu hitam legam dengan pandangan mata jeli. Memiliki postur tubuh lebih gagah dengan paruh tajam.

Nalurinya sangat cepat dalam menangkap sesuatu. Anak Elang tampak gesit dibandingkan dengan anak-anak Ayam lainnya. Induk Ayam juga merasakan hal itu tetapi dia tetap menyayangi tanpa pandang bulu.

Namun ada satu hal yang  tidak dikuasainya adalah terbang seperti Elang yang sebenarnya. Maklun kini pergaulannya dengan anak-anak ayam yang tidak bisa terbang.

Siang terik itu Induk Ayam dan anak-anaknya sedang berteduh di bawah pohon rindang. Tempat itu adalah favorit mereka pada saat menghindar dari panasnya terik Matahari. Juga tempat yang aman dari sambaran seekor Elang.

Induk Ayam tidak sadar di atas pohon itu ada sepasang mata sangat tajam dan liar sedang mengincar salah satu anak Ayam miliknya.

Hanya dengan satu kelebatan kilat Si Mata  tajam itu berhasil mencekeram salah satu anak ayam berbulu hitam.

Induk ayam hanya sempat melawan seadanya karena cengkeraman Elang itu sangat kuat membawa anak ayam itu terbang menuju ke sarangnya.

Induk Ayam sangat sedih dengan peristiwa itu. Dia kehilangan seorang anak yang memiliki ciri yang berbeda dari 16 anak lainnya.

Sementara burung Elang sangat gembira mendapatkan buruannya. Tetapi Elang itu merasakan ada perbedaan dari buruan yang dia dapatkan.

"Kamu bukan anak Ayam ya?"

"Aku anak Ayam seperti mereka."

"Tidak. Kamu bukan anak Ayam. Kamu anak Elang. Kamu harus kembali menjadi Elang."

"Kamu harus tumbuh bersama kami untuk mampu terbang tinggi melintasi cakrawala menguasai langit. Bukan menjadi seekor Ayam yang hanya ada di daratan yang rendah."

Lalu Elang itu mengelus dengan pelukan penuh kasih sayang kepada Si Anak Elang itu sambil berbisik mesra.

"Kebanggan seekor Elang adalah terbang tinggi menggapai segala yang dicita-citakannya sambil memandang tajam masa depan dengan penuh optimis."

@hensa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun