Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Corona dan Cinta yang Kandas

6 Mei 2020   10:39 Diperbarui: 6 Mei 2020   17:46 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wisma ini pernah digunakan sebagai penginapan para atlet dalam ajang Olah Raga terbesar di Asia. Saat ini disulap menjadi Rumah Sakit Darurat dalam menunjang penanganan para pasien corona virus. Sejauh ini sudah menampung 524 pasien. Aku adalah salah satu dari mereka yang masuk dalam kategori pasien positif.

Saat kembali ke Jakarta dari kunjungan kerja tugas dari Kampusku ke salah satu negara di Eropa, aku harus melakukan karantina sambil menunggu hasil swab test atau test PCR (polymerase chain reaction). 

Pada test pertama aku dinyatakan positif dan harus mengikuti program perawatan intensif di Wisma RS Darurat tersebut. Dengan demikian aku terpaksa harus meninggalkan tugasku sebagai tenaga dosen di Kampus Depok.

Hari ini adalah hari ke-9 aku mendapatkan perawatan. Para tenaga medis yang bekerja siang malam begitu tulus dan sangat profesional. Para dokter dan perawat penuh semangat dan disiplin tinggi dalam melakukan pekerjaan mereka. Setiap hari kami mendapatkan jatah kunjungan dokter sebanyak satu kali. Biasanya dikunjungi pada pagi hari atau malam hari setelah makan malam.

Malam itu giliran dokter Alfian hadir di kamarku. Memeriksa kondisi terakhir kesehatan pasien disertai dengan beberapa dialog kecil sekedar mengendurkan urat syaraf. Sesekali juga dokter memberikan suntikan vitamin untuk memberikan ketahanan tubuh yang kuat. 

Namun sejak malam ke-3 itu, aku selalu kedatangan dokter pada hampir setiap malam. Padahal sorenya sudah ada dokter yang berkunjung. Dia memperkenalkan diri bernama dokter Corona Dewi. Kesan pertamaku dia masih muda, cantik, enerjik dan sangat profesional. Dia juga menjelaskan bahwa dirinya adalah relawan yang baru saja lulus ilmu kedokteran di salah satu Universitas di Bandung. 

"Mas kondisinya semakin membaik. Sebaiknya besok sampling lagi ya untuk swab test." 

"Baik dokter, " kataku menjawab singkat. 

"Ah jangan panggil saya dokter. Panggil saja Cory biar lebih akrab," katanya ramah. 

Itulah perkenalan pertamaku dengan dokter Corona Dewi. Nama Corona ini lebih dulu dipakainya dibandingkan dengan nama yang dipakai oleh virus mematikan itu. Belakangan aku mengetahui ternyata dokter Cory masih jomblo. 

Hal ini dari informasi seorang Perawat yang baru saja mengukur kondisi tensi jantungku. Entah kenapa info jomblonya dokter Cory membuat hatiku berbunga. Mungkin karena gagalnya kisah cintaku yang pertama yang membuat aku kembali berharap.

Malam berikutnya dokter Alfian memeriksaku agak terlambat ketika jam sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB. Namun dokter Alfian memberi kabar bahwa kondisiku semakin terus membaik. 

Tadinya aku berfikir malam ini dokter Cory tidak melakukan kunjungan kepada pasien. Tetapi ternyata tepat seperti malam kemarin dokter cantik ini hadir di kamarku. 

Wajahnya yang ramah dengan sapaannya penuh keakraban semakin membuat aku bertambah tertarik kepada sosok dokter cantik ini. Aku bisa merasakan aura kecantikannya dibalik pakaian lengkap APD yang dikenakannya setiap mengunjungiku. 

Sudah sembilan kali kunjungan telah membuat kami semakin akrab. Hampir tidak ada jarak antara pasien dan dokter. Mungkin hal ini terjadi karena kami masih sama-sama muda dan sama-sama tahu kalau masih sendiri.    

"Semakin membaik Hen. Tensi sudah kembali normal. Tinggal menunggu hasil swab test semoga saja negarif." Kata dokter Cory semakin akrab dengan sapaan langsung menyebut namaku.

"Terima kasih Cory. Tadi juga dokter Alfian mengatakan hal yang sama." Jawabku dengan sapaan akrab. 

"Ok Hen. Terus berjuang untuk sembuh. Kesembuhan itu berawal dari rasa optimis."

"Saya setuju rasa optimis dapat menyembuhkan bukan saja luka oleh virus corona tapi juga luka-luka lainnya akibat kegagalan cinta." Kataku sedikit sensitif karena kegagalan kisah cintaku. Mendengar ini aku melihat ada rasa gundah dalam wajah dokter Cory. 

"Maaf Cory. Mungkin kata-kataku tadi membuat kamu tersinggung?" Cepat-cepat aku mengatakan maaf kepadanya. 

"Tidak apa-apa Hen. Aku hanya teringat kegagalan pernikahanku karena calon suamiku kepergok berselingkuh dengan gadis lain." Suara Cory terdengar pelan tapi bergetar menahan perasaan gundah.

"Sekali lagi Cory, benar-benar aku minta maaf. Tidak bermaksud membawamu kembali pada peristiwa pedih itu."

Aku melihat Cory memandangku tajam. Matanya yang indah itu seakan menembus hati terdalamku. Seakan ingin mengetahui perasaan cinta yang ada di dalamnya. Tiba-tiba aku melihat ada setitik air mata meleleh di kedua pipinya. 

Aku sangat terharu melihatnya dan memberanikan diri untuk memegang tangannya. Padahal tindakanku itu tidak diperbolehkan oleh aturan kesehatan yang ada. Namun dokter Cory hanya diam ketika tangannya aku pegang malah dia balik memegang erat kedua tanganku seakan ingin berlindung. 

"Hen andaikan aku bertemu denganmu jauh sebelum ini, " kata Cory tersendat. Kemudian dia melepaskan perlahan genggaman tangannya. Gadis itu berpamitan sambil tetap memandangku seakan sangat berat meninggalkanku. Aku terpaksa harus melepaskannya. 

Sejak itu sudah tiga hari aku tidak dikunjungi dokter Corona Dewi. Ada rasa kangen. Ada rasa rindu. Ternyata cinta itu semakin tumbuh di dalam hati ini. Hanya dalam sepekan aku benar-benar jatuh cinta kepada dokter Cory. 

Kemana gerangan dokter Cory seolah menghilang dari muka Bumi ini. Tadinya aku ingin bertanya kepada salah satu perawat tetang keberadaan dokter Cory tapi tidak kulakukan. 

Hari ini adalah hari ke-14 aku berada di tempat ini. Hari penuh kegembiraan setelah hasil swab test yang kedua keluar dengan hasil negatif. Aku kini sudah tidak terpapar lagi virus corona. Aku sudah diperbolekan pulang dan melakukan karantina mandiri di rumah. 

Kembali benakku terbayang wajah dokter Cory. Di koridor itu aku berpapasan dengan dokter Alfian yang sempat menyapaku. Tetiba saja aku ingin menanyakan keberadaan dokter Cory. 

"Dokter Alfian!" Aku memanggilnya dan dokter Alfian berbalik. Aku segera menghampirinya. 

"Maaf dokter. Saya ingin bertanya tentang dokter Corona Dewi?" Tanyaku. Mendapat pertanyaan ini aku melihat dokter Alfian terheran-heran. 

"Oh kenal dengan dokter Cory?" 

"Iya dokter Cory rutin visite namun dalam tiga hari terakhir ini sudah tidak lagi."

Mendengar ini dokter Alfian bertambah terkejut dan  mengernyitkan keningnya terheran-heran. 

"Dokter Cory sudah meninggal korban virus tersebut ketika beliau masih bertugas di RS Persahabatan." Jelas dokter Alfian masih dalam suasana terheran-heran menatapku. 

Sementara aku hanya mampu termangu mendengar penjelasan dokter Alfian. Ternyata dokter Corona Dewi sudah wafat dalam berjuang melawan virus corona, Covid-19. Setiap malam arwahnya datang berkunjung ke ruanganku membantu kesembuhanku. Terimaksih Cory Dewi akan selalu di hati. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun