Para pemilik pesan, umumnya memiliki kebebasan yang hanya dibatasi oleh aturan sistem publikasi pesan. Domain yang dimiliki oleh pengirim pesan adalah mengedit pesan sekuat-kuatnya dan mencoba untuk berempati kepada penerima pesan. Hampir pengelola informasi yang hanya sebagai manajer, selalu memasrahkan konten kepada pembuat konten. Tentunya dengan batasan-batasan normatif seperti norma yang berlaku, aturan penulisan dll. Namun karena domain pengembang informasi menempati area yang sangat luas, maka konten informasi sebenarnya adalah manifestasi kebebasan ekspresi pengembang informasi.Â
Persepsi adalah domain kebebasan penerima informasi. Pengembang informasi, tidak bisa mengatur kebebasan penerima dalam mengkonstruksi persepsi informasi. Bahkan pemilik informasi sekalipun, tidak bisa mengatur konstruksi persepsi penerima pesan. Kapabilitas kognitif dan landasan afektif penerima informasi menjadi tolok ukur munculnya persepsi dalam berkomunikasi. Layanan informasi jika boleh diungkapkan sebenarnya kegagalan hanya pada persepsi. Apapun makna yang ingin disampaikan pemilik informasi maka ujungnya adalah persepsi pengguna informasi.Â
Berbagai wujud informasi memberikan dukungan kesesuaian persepsi. Bila mengingat manusia memiliki perbedaan dalam auditori atau visual atau kinestetik dan atau kombinasi diantaranya, maka betapa besar yang perlu dipikirkan oleh pengembang informasi dan pengelolanya. Inilah mengapa bahwa pengembangan informasi bukan merupakan perkara yang sederhana. Perlu kehati-hatian dan empati yang perlu dimunculkan sebagai pertimbangan pengelolaan informasi, Namun, bukan berarti kehati-hatian ini menjadi alasan kontraproduktif terhadap kecepatan informasi. Empati mengajarkan bagaimana kita untuk ikut merasakan apa yang akan dirasakan orang lain. Sehingga wujud informasi perlu disesuaikan dengan kemampuan auditori, visual, kinestetik sasaran informasi dengan sensor informasi berupa empati.
 Berbagai kejadian adanya salah persepsi dalam informasi. Masihkah teringat pemilik informasi yang mengaduk-aduk konten agama di perancis. Telah terjadi pembunuhan terhadap seorang guru akibat adanya informasi bohong. Pemilik informasi yang belia (sekitar 13 tahun) tidak memiliki sensor empati, memberikan informasi kepada ayahnya. Setali tiga uang dengan anaknya, ayahnya juga tidak memiliki sensor empati. Kenyataan yang tidak bagaimana penerima informasi membangun persepsi terhadap aktualisasi sikap setelah informasi penghinaan nabi dan juga rasulullah terakhir umat muslim. Sungguh satu persatu ketidakberadaban mulai muncul bahkan penerima informasi telah sampai pada manusia yang berbeda negara.Â
Persepsi menjadi ujung terakhir bagaimana informasi menjadi bagian pengguna. Sebaiknya tidak perlu membangun stikma adanya kesalahan informasi pada saat hukum sebab akibat berlaku. Sistem informasi memerlukan wujud informasi dengan kanal auditori, visual, kinestetik dan paduannya. Pembuat informasi harus memiliki sensor empati terhadap siapapun yang memungkinkan menerima informasi. Bagi penerima informasi, sebaiknya tidak hanya mengatakan bahwa persepsi adalah merdeka, berlakulah bijaksana apabila menerima informasi. Jika diperlukan lebih baik tabayun setelah melakukan persepsi. Sehingga informasi yang kita terima adalah informasi yang sehat. Salam satu jiwa ….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H