Beberapa tahun yang lalu, saya pernah menghadiri suatu seminar di sebuah hotel mewah di kawasan Jakarta Selatan. Saya masih ingat dengan segar pertanyaan – pertanyaan yang diajukan oleh si pembicara.
Dengan suara lantang dia bertanya
” Beberapa dari kalian yang mengetahui bahwa untuk seseorang merasa termotivasi melakukan *sesuatu (*dalam hal ini : Belajar) dia harus memiliki ‘motif’ ? ”
” Beberapa banyak di antara kalian yang masih mengira bahwa kita perlu diberi motivasi oleh seorang motivator agar kita bersemangat melakukan *sesuatu ? ” (*baca : Belajar)
” Bukankah ini sekarang menjadi kebutuhan, atau lebih tepat jika disebut ketergantungan akan obat motivasi untuk hati dan pikiran kita yang kian hari kian bertambah dosisnya tanpa kita sadari ? ”
“ Galau, gelisah, males, bosen, ga ngerti, terserah, masa bodoh, ga penting, jenuh adalah sebagian dari kosakata rutin yang kita koleksi dan kita putar saat kita merasa kita mulai tidak termotivasi ? ”
If a man has not discovered something that he will die for, he isn’t fit to live.
Martin Luther King, Jr.
Singkat cerita, di akhir seminar sembari saya bersalaman dan mengucapkan terima kasih pada si pembicara itu, pikiran pun mulai bermain – main dengan logika.
Saya berkata pada diri saya sendiri,” Kekeliruan pemahaman tentang apa itu sebenarnya yang kita sebut motivasi dalam kehidupan ini akan berakibat sama fatalnya dengan seorang kapten kapal yang tidak bisa membaca arah kompas.
Lalu terdengar suara lirih menjawab dalam hati saya ,” Bedakan antara tidak punya keinginan dengan tidak punya harapan, karena itu yang bisa membuat seseorang termotivasi.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H