“Berjalan di pinggir, bukan malah tersingkir, di sisi jalan yang tinggal sejengkal, di sibuknya jalan kota, biarkan kami menikmati jalur khusus pejalan kaki, biarkan kami menggerakkan kaki-kaki ini melangkah selangkah-demi-selangkah, tanpa henti”
di trotoarnya Batavia
By: Henry
[caption id="attachment_169692" align="alignleft" width="300" caption="Kendaraan bermotor melewati trotoar di kawasan wisata kota tua Jakarta (17/3). Seharusnya penjajahan terhadap hak-hak pejalan kaki tidak terjadi lagi di kawasan itu dan di Batavia seutuhnya (ryu)."][/caption] Tempat khusus berjalan kaki di Ibukota ini semakin sulit saja. Seakan semua semakin menghilang tanpa tersisa. Di jalan yang dibuat melebar dan luas, tak terlihat sedikitpun trotoar. Yang terlihat hanya gundukan tanah beserta rerumputan yang berubah kecoklatan. Itulah keadaan yang sebenarnya sedang dan masih terjadi di kota besar yang dikenal dengan Jakarta. Mungkin sebagian dari anda akan melihat kondisi ini di luar pusat pemerintahan,artinya jauh dari kantor pemerintahan maka kondisi jalannya tidak pernah ada yang beres (tanpa trotoar). Namun sebaliknya, jika kita sedang berjalan di lokasi pusat pemerintahan maka akan ditemui trotoar yang cukup apik. Lihat saja di daerah Jakarta pusat dikisaran kantor2 pemerintahan,sampai dengan jantung kota Jakarta, terlihat trotoar yang dibuat benar. Lalu mengapa jalur pedestrian itu tidak terjadi di luar kantor2 pemerintahan?.Mengapa infrastruktur ini masih ada kesenjangan yang cukup mencolok? Unjuk rasa damai yang dilakukan oleh komunitas pejalan kaki di Jogjakarta mengenai seruan atas semakin hilangnya hak pejalan kaki di jalanan perlu mendapat perhatian serius. Mereka membawa pamphlet dan beberapa gambar yang menunjukkan bahwa fungsi trotoar (bagi yang sudah ada trotoarnya) telah berubah. Dari gambar yang disampaikan oleh para unjuk rasa itu terlihat kendaraan-kendaraan beroda dan bermesin parkir di atas trotoar. Dan ada juga trotoar yang berubah fungsi menjadi lapak pedagang kaki lima. Mereka membuka lapaknya di atas trotoar hingga menutup semua akses pejalan kaki. Bukankan keadaan ini adalah sebuah fenomena yang tidak wajar?.Lalu mengapa masih saja dibiarkan?.ini adalah sebuah wujud keprihatian warga pejalan kaki yang hak-haknya telah dirampas dan dihilangkan. Kondisi yang dialami warga Jogjakarta merupakan realitas mengenai telah beralih fungsinya trotoar. Hal tersebut membuat warga Jogja tidak bisa mengakses trotoar secara nyaman dan aman. Protes warga terhadap jalur pedestrian yang telah berubah fungsi merupakan sebuah kenyataan bahwa warga Jogja telah sadar terhadap lingkungannya. Mereka telah mengerti dan memahami bahwa kota manusia adalah kota yang senantiasa memberi ruang manusia untuk bergerak sesuai dengan kodratnya. Bukan malah sebaliknya. Sangat disayangkan jika kota manusia secara perlahan mengabaikan unsur manusia seutuhnya. Lain di Jakarta Ibu kota Indonesia ini terbilang unik dari kota-kota lainnya. Uniknya adalah pembangunan infrastruktur jalan hanya untuk kepentingan moda transportasi pribadi. Uniknya lagi adalah tidak ada lagi sisa jalanan yang dibuat khusus untuk jalur pejalan kaki (pedestrian) atau biasa disebut trotoar. Jalanan di Jakarta belahan manapun semua mengabaikan unsur manusia. Jika di Jogjakarta ada warganya yang berujuk rasa untuk meminta mengembalikan trotoar pada fungsinya. Yang terjadi di Jakarta adalah sebaliknya, banyak yang berteriak untuk meminta agar sisi jalan paling pinggir (trotoar) ditiadakan sehingga jalanan menjadi lebih luas dan dapat menampung jumlah kendaraan yang lebih banyak. Kalaupun sudah ada trotar, maka sering kali jalan ini menjadi jalur alternatif kendaraan bermotor. Pengendara bermotor tersebut melewati trotoar tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Kejadian ini sering kali terlihat di jalan daan mogot dan perempatan jalan menuju kedoya. Para pengguna kendaraan bermotor melibas trotoar yang sedang dipenuhi oleh pejalan kaki. Pengguna jalan yang sedang duduk di halte trotoar pun terpaksa harus berdiri demi menghindari terjangan pengendara motor yang asal-asalan. Tergusurnya fungsi trotoar di Jakarta telah terjadi berangsur-angsur tanpa pernah ada tindakan. Hal ini membuat fungsi trotoar telah berubah sebagai jalan alternative, tempat parkir dan tempat berjualan. Kejadian yang berulang dan berangsur-angsur selama bertahun-tahun secara tidak langsung telah merubah paradigma manusia yang bermukim di dalamnya. Mereka cenderung mengabaikan fungsi trotoar, membiarkan apa adanya dan menghilang begitu saja. Inilah terlihat betapa bedanya kota yang dibangun atas dasar perencanaan dengan kota yang dibiarkan tumbuh tanpa kontrol dan perubahan. Dan tentunya yang paling berpengaruh untuk perubahan suatu kota adalah subyek yang ada di kota yaitu manusianya. Manusia harus membuat perubahan atas apa pun yang awalnya tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan sehingga menjadikan sejalan dengan alur dasar manusia. Merubah kota Jakarta menjadi lebih baik tergantung bagaimana dengan pemimpinnya. Mereka yang telah berani memutuskan menjadi pemimpin Ibukota ini harus segera membuat perubahan atau malah sebaliknya. Tinggal menghitung hari, minggu dan bulan lagi untuk memilih orang nomor satu di Jakarta (DKI 1). Jangan sampai kesalahan masa lalu terulang kembali di masa yang akan datang. Anda yang ingin perubahan bagi Jakarta maka pilihlah manusia yang benar-benar manusia. Dari manusia, oleh manusia dan untuk manusia yang ada di Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H