Mohon tunggu...
Henri Satria Anugrah
Henri Satria Anugrah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis Konten Pengembangan Diri

Membacakan hasil tulisan di channel Youtube bernama Argentum (https://www.youtube.com/c/Argentum-ID/)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Masih Pantaskah KPK Berada di Indonesia?

28 Oktober 2019   15:32 Diperbarui: 28 Oktober 2019   15:42 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Revisi UU KPK sudah disahkan sejak sebulan lalu. Namun hingga saat ini, pembicaraan tentangnya belum berhenti. Pihak yang tidak setuju masih terus menyampaikan pendapatnya, bahkan berusaha agar UU KPK itu dibatalkan. Sebaliknya, pihak yang setuju pun masih terus mempertahankan UU KPK agar tidak dibatalkan begitu saja (misalnya, video Youtube dari Deddy Corbuzier bersama Fahri Hamzah: WAH, TERNYATA ADA BISNIS DI DALAM KPK!? FAHRI HAMZAH BUBARKAN KPK).

Lantas, apakah KPK sebaiknya tetap ada, atau ada dengan perubahan, atau bahkan dibubarkan saja?  Menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah. Setiap opini memiliki argumen kuat yang tidak bisa dibantah begitu saja. Oleh karena itu, hendaknya kita memahami setiap opini yang secara umum terdiri dari tiga kubu ini. Suka atau tidak suka, pemahaman terhadap opini yang berlawanan dengan kita tentu akan membuat pikiran kita lebih terbuka. Jangan sampai ketidaksukaan kita terhadap suatu opini membuat kita pilah-pilih dalam belajar, sehingga menghasilkan ilmu yang tidak objektif.

Opini pertama menganggap bahwa KPK harus tetap ada (tanpa perubahan berarti) karena telah terbukti sukses memberantas korupsi. Mereka menganggap bahwa Revisi UU KPK justru malah melemahkan KPK. Mereka curiga pada DPR yang mengajukan Revisi UU KPK karena menilai bahwa DPR takut ditangkap KPK. Argumen ini diperkuat dengan data yang menunjukkan bahwa KPK telah menangkap 23 anggota DPR. Pada umumnya, yang menganut opini ini ialah mayoritas masyarakat Indonesia.

Opini kedua menganggap bahwa KPK harus tetap ada, tetapi dengan perubahan. Perubahan yang paling signifikan ialah diadakannya dewan pengawas untuk mengawasi pergerakan KPK (misalnya, melakukan penyadapan, izin penyelidikan, dll). Mereka beranggapan bahwa KPK terlalu overpower sehingga perlu diawasi. Mereka pun curiga (bahkan menuduh) bahwa di dalam KPK pun ada "kekotoran" yang sulit terungkap akibat ke-overpower-an KPK. Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa kehadiran Revisi UU KPK ini akan membuat KPK menjadi lebih setara dengan lembaga-lembaga lain. Saat ini, opini kedua berada pada posisi yang paling unggul karena Revisi UU KPK telah disahkan. Pada umumnya, yang menganut opini ini ialah mayoritas anggota DPR.

Argumen-argumen opini kedua telah dibantah oleh opini pertama, seperti yang sering kita saksikan di media-media (Mata Najwa, ILC, media sosial, dll). Pertama, kehadiran dewan pengawas justru akan menghambat aktivitas KPK. Tidak hanya dari segi kecepatan penyelidikan, kerahasiaan data pun berpotensi lebih rawan bocor karena harus diserahkan kepada dewan pengawas terlebih dahulu. Kedua, ke-overpower-an KPK wajar terjadi karena kriminalitas yang diberantas KPK bukan kriminalitas biasa, tetapi extraordinary crime. Sampai saat ini, belum ada bantahan balasan dari opini kedua kepada opini pertama. Oleh karena itu, meskipun telah disahkan, Revisi UU KPK masih tetap berpotensi untuk dibatalkan.

Opini ketiga menganggap bahwa KPK sebaiknya dibubarkan karena sudah ada lembaga-lembaga lain (misalnya, polisi) yang bertugas memberantas korupsi. Mereka beranggapan bahwa di negara ideal --yang tidak ada (sedikit) korupsi-- KPK tidaklah diperlukan. Untuk mewujudkan negara tanpa (sedikit) korupsi, pemberantasan sebaiknya dilakukan dari dalam (internal setiap lembaga), bukan dari luar layaknya sistem yang berlaku saat ini.

Mereka beranggapan bahwa seharusnya, pemberantasan korupsi adalah semakin sedikitnya jumlah kasus korupsi, bukan semakin banyak dan ditangkap seperti yang terjadi saat ini. Mereka menilai bahwa tersisa dua anggota DPRD Malang karena terjerat kasus korupsi justru menandakan bahwa KPK gagal melaksanakan tugasnya. Fahri Hamzah adalah orang yang paling kuat dalam menyuarakan opini ini.

Masih Pantaskah KPK Berada di Indonesia?

Setelah memahami tiga opini di atas, saya akan membuat analisis untuk menentukan apakah KPK masih pantas berada di Indonesia. Opini saya belumlah tentu benar. Pembaca mungkin memiliki opini yang berbeda, bahkan lebih baik daripada saya. 

Opini ketiga merupakan jawaban utama dari pemberantasan korupsi. Banyaknya koruptor yang tertangkap menandakan bahwa ada yang salah pada cara negara ini dalam memberantas korupsi. Metodenya masih berfokus pada kuratif, "mengobati setelah sakit muncul", bukan mencegah kemunculan "sakit" itu sendiri. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya membuat sistem yang lebih terbuka pada setiap lembaga, misalnya sistem e-budgeting (lihat video: TSAMARA AMANY: Sahkan UU E-Budgeting untuk Pemerintah BERSIH & BERTANGGUNG JAWAB) yang mengharuskan adanya transparansi online yang bisa diakses semua orang.

Di sisi lain, koruptor yang jelas keberadaannya tidak boleh dibiarkan begitu saja. Harus ada pihak yang menangkapnya untuk menerima hukuman yang layak. Jika dibiarkan, tentu habislah harta negara ini, sia-sia rakyat memberikan uang kepada negara melalui pajak. Oleh karena itu, keberadaan KPK masihlah dibutuhkan di negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun