Konten sensasional lebih digemari oleh orang-orang daripada konten edukatif. Hal ini terlihat dari jumlah viewers atau like pada suatu konten, apapun bentuknya (video, gambar, dan audio).Â
Memang, konten sensasional bisa menghasilkan hiburan sesaat. Namun, fenomena ini sangat berbahaya bagi perkembangan media sosial dalam jangka panjang.
Pengisi dari media sosial adalah content creator. Setiap hari, mereka membuat konten untuk dipublikasikan pada akun publik (Channel Youtube, akun Instagram, akun Twitter, page Facebook, dll) yang mereka kelola.Â
Bahkan, sebagian dari mereka berpenghasilan utama dari menjadi content creator. Lantas, apa dampaknya apabila konten sensasional lebih viral daripada konten edukatif?
Platform penghasil uang di internet mengevaluasi kesuksesan suatu konten secara kuantitatif, bukan kualitatif. Akibatnya, jumlah viewers ialah harga mati. Misalnya, Google Adsense yang membayar blogger/youtuber berdasarkan jumlah yang melihat iklan dan jumlah yang mengklik iklan.Â
Kualitas konten? Tidak dinilai sama sekali. Yang penting jumlah viewers banyak, sehingga iklan lebih banyak dilihat orang. Memang, dari sisi penonton konten adalah yang utama, sedangkan iklan hanyalah selingan. Namun dari sisi bisnis, iklan adalah yang utama, sedangkan konten hanyalah selingan.Â
Bahkan, Kompasiana pun juga menerapkan sistem yang sama. Untuk memperoleh K-Rewards, diperlukan sebanyak 3000 views setiap bulannya. Tentu, artikel politik akan lebih diuntungkan daripada artikel psikologi seperti saya.Â
Bahkan, saya pun pernah "menjual" Rocky Gerung di artikel saya yang berjudul Belajar dari Rocky Gerung Mengenai Seni Memikat Audiens dengan Retorika Logika sehingga mendapat views lebih dari seratus.Â
Jika judulnya hanya Seni Memikat Audiens dengan Retorika Logika saja, saya yakin, views 50 sudah merupakan pencapaian yang luar biasa. Apakah Kompasiana berarti buruk? Tidak sama sekali karena sistemnya memang seperti itu.Â
Dari mana Kompasiana dan platform-platform lainnya akan mendapatkan keuntungan kalau sistemnya tidak seperti itu? Bagaimana nasib karyawan, bahkan eksistensi dari platform itu sendiri apabila sistem ini tidak diterapkan?
Lantas, Apa Dampaknya Apabila Sistem Kuantitatif Terus Berlanjut?