Tentu, content creator akan berlomba-lomba untuk memperoleh viewers daripada membuat konten itu sendiri. Jika di Kompasiana, dampaknya memang tidak terlalu signifikan. Rp2 juta merupakan hadiah maksimal yang bisa diperoleh dari K-Rewards.Â
Jadi, mustahil apabila ada orang yang berpenghasilan utama dari Kompasiana. Pada hakikatnya, Kompasiana adalah platform blog dengan slogan Beyong Blogging, yang artinya lebih dari sekadar platform blog. Jadi, kesenangan untuk menulis artikel jauh lebih penting daripada keuntungan dari artikel yang kita bagikan.
Lain ceritanya yang terjadi di platform lain, misalnya Youtube. Lihatlah sekarang, seluruh trending-nya merupakan konten-konten sensasional, bukan edukatif.Â
Urusan rumah tangga keluarga Raffi Ahmad jauh lebih "menarik" daripada konten-konten yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Saya tidak menyalahkan Raffi Ahmad, juga content creator lainnya karena sistemnya memang seperti itu.Â
Jika tidak mengikuti sistem, dari mana mereka akan memperoleh uang untuk memberi makan keluarga dan menyekolahkan anak?
Lalu, Apa Solusi dari Fenomena Konten Sensasional Lebih Viral daripada Konten Edukatif
Pendidikan merupakan satu-satunya solusi yang paling efektif. Dengan pendidikan, maka konten-konten sensasional akan tenggelam dengan sendirinya karena penonton bisa memilih sendiri mana konten yang sebaiknya ditonton lebih sering.Â
Tentu, solusi ini memerlukan waktu yang sangat lama. Kita hanya bisa berdoa supaya Mendikbud yang baru bisa membuat sistem pendidikan yang membuat seluruh masyarakat Indonesia bisa berpikir kritis.Â
Bukan hanya pendidikan berbasis hapalan. Bukan pula Ujian Nasional saja yang memaksa siswa untuk berpikir kritis dengan menerapkan high order thinking skill pada soal-soalnya, sedangkan di sekolah sama sekali tidak diajarkan.
Apakah Konten Sensasional Itu Salah?
Sama sekali tidak. Manusia memanglah makhluk yang bersifat emosional, sehingga secara naluriah, menyenangi konten-konten sensasional.Â