Mohon tunggu...
Henri Nurcahyo
Henri Nurcahyo Mohon Tunggu... -

Menulis apa saja, sepanjang memungkinkan. Lebih lengkap tentang saya, sila klik: http://henrinurcahyo.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Saya Terkena Sihir Jokowi

6 Juli 2014   19:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:15 1610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14046253331169594544

Oleh Henri Nurcahyo

Mohon maaf, saya tidak bermaksud kampanye dalam masa tenang ini. Saya hanya ingin menuliskan apa yang saya alami kemarin sore, saat saya hadir dalam konser #salamduajari di stadion Gelora Bung Karno (GBK). Bagi saya pribadi, ini pengalaman yang luar biasa, sangat mengesankan, berbagai perasaan campur aduk. Padahal bagi kebanyakan orang, itu adalah hal yang biasa saja. Di tengah-tengah kerumunan masa itu, terlintas dalam kepala saya, “ah saya sudah terkena sihir Jokowi…”

Sudah sejak lama saya terpikat dengan sosok Jokowi, ketika saya dengar namanya sebagai Walikota Surakarta atau Solo. Waktu itu saya hadir sebagai pembicara dalam acara Festival Panji di halaman Pasar Windu Solo. Saya sangat terkesan dengan topeng-topeng besar Panji menghiasi pasar itu. Dan ternyata topeng-topeng besar yang sama juga saya temui di dekat stadion Manahan, dan juga di tepi sungai dekat kawasan (ah maaf saya lupa nama daerahnya) mungkin Mojosongo. Di situ ada beberapa topeng besar tokoh-tokoh Panji. Di bawahnya ada relief adegan Cerita Panji. Dan ketika saya keliling kota, saya menemui banyak topeng-topeng menghias dinding-dinding.

“Ini semua idenya Jokowi,” kata mbah Prapto (Suprapto Suryodarmo) menjawab pertanyaan saya. Saat itu juga saya katakan, bahwa Solo lebih layak disebut sebagai Kota Panji, meski selama ini sebutan itu diklaim oleh Kabupaten Kediri, asal mula Cerita Panji.

Soal mobil Esemka, juga menarik perhatian saya. Itu sebetulnya hal yang biasa, bukan aneh dan hebat. Tetapi yang hebat itu adalah gagasan dan keberanian menjadikan hal itu sebagai kebijakan pemerintah. Jujur saja, tidak ada yang istimewa dengan mobil esemka, tetapi justru Jokowi yang pertama kali mengangkatnya sehingga menjadi publikasi besar yang melambungkan namanya. Jokowi bagaikan Columbus yang “menemukan” benua Amerika.

Ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta, publikasinya sangat luar biasa, terutama dengan agenda blusukannya yang fenomenal itu. Ah sudahlah saya tidak ingin menceritakan ini panjang lebar, semuanya sudah tahu. Namun yang penting bagi saya, bahwa apa yang dilakukan Jokowi sejak menjadi Walikota Solo hingga mencalonkan diri sebagai Presiden RI kali ini, semuanya menjelma menjadi sihir terhadap diri saya.

Karena itulah saya berusaha mencari kesempatan bisa hadir dalam acara-acara Jokowi, karena kebetulan saya banyak di Jakarta. Tetapi selalu saja ada alasan dan kesibukan yang tidak memungkinkan saya hadir. Sampai suatu ketika, ada berita soal Konser Dua Jari itu. “Saya harus hadir,” tekad saya. Beberapa teman berkomentar agar nonton di TV saja, berita-beritanya juga banyak di media online. Ah tidak, saya bukan ingin menonton acara itu tetapi ingin menceburkan diri dalam gelombang massa pedukung Jokowi.

Jujur saja, baru kali ini saya memasuki stadion legendaris itu. Petugas mengarahkan saya untuk naik ke tribun, dan saya duduk manis selama beberapa jenak sampai akhirnya Jacky yang menemani saya turun ke lapangan. Saya menyaksikan lautan manusia di depan saya. Namun saya tidak bisa melihat jelas siapa yang tampil di panggung. Sampai terdengar lamat-lamat suara yang saya kenal, Megawati, ah keliru… belakangan kemudian saya tahu itu Puan Maharani. Tanpa terasa, saya ikut mengacungkan salam dua jari, ikut teriak yel-yel, terutama ketika acungan salam dua jari itu berawal dari sisi kiri saya di tribun, bergerak bagai gelombang ke arah kanan. Luar biasa, itu terjadi berulangkali.

Sejumlah artis tampil menyanyi, meneriakkan yel-yel, ada beberapa orasi, juga shalawat dari Ngatawi Zastrouw, dan saya masih duduk manis di tribun. Tetapi saya merasakan detak jantung mulai berubah iramanya. Diam-diam pipi saya mulai basah karena lelehan air mata. Kemudian mata saya menangkap ada celah di pagar pembatas antara tribun dan lapangan. Ah, mengapa tidak ikut turun saja. Begitulah, saya ikut orang-orang yang melompati dinding itu. Bismillah, lumayan tinggi juga… terngiang nasehat saudara saya, “ati-ati Mas, balung tuwo.” Saya tersenyum dalam hati.
Pada saat saya berada di lapangan, memang masih belum terlalu padat manusia. Namun saya rasakan gelombang manusia pelan-pelan masuk ke lapangan. Sebagian tribun memang masih kosong, terutama di arah belakang panggung. Saya pelan-pelan merangsek ke dekat panggung, tetapi tetap tak bisa lantaran kepadatan orang. Ya sudah secukupnya saja, meski dalam posisi ini saya juga tak bisa melihat langsung panggung. Beruntung ada layar monitor besar sebagai back drop sehingga membantu untuk tahu siapa yang tampil.

Yang menarik, bukan bendera partai yang banyak saya temui, melainkan bendera Slank. Para Slanker datang dari berbagai kota, berombongan dan membawa atribut Slanker kota mereka masing-masing. Ini kampanye apa konser Slank? Maka gelombang keharuan menyergap lautan manusia itu ketika penyanyi di panggung mengajak nyanyi bersama-sama.. hey salam dua jari… ‘tuk Jokowi…. JeKa…. “ Saya ikut teriak dengan semangat, mengacungkan lengan dengan salam dua jari. Amran, teman saya memotretnya. Dan saya pun membatin, “pasti anak bungsu saya tertawa kalau lihat foto ini” Saya yang biasanya mengkritik orang foto dengan dua jari, kini saya sendiri melakukan hal yang sama. Gak papa, kan konteksnya beda.

Usiaku berkepala 5 berbaur dengan anak-anak muda para Slanker, anak-anak seusia anak bungsuku. Dan aku tidak malu. Bahkan mataku basah, air mataku meleleh di pipi. Aku memang tidak bisa melihat jelas tampang penyanyi, tidak seperti di tivi. Entah siapa yang sedang menyanyi di sana. Tetapi aku merasakan auranya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun