Mohon tunggu...
Henri Nurcahyo
Henri Nurcahyo Mohon Tunggu... -

Menulis apa saja, sepanjang memungkinkan. Lebih lengkap tentang saya, sila klik: http://henrinurcahyo.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Penghargaan buat Petugas Sampah, Ironi Pak Sukri...

11 Januari 2014   17:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:55 1142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13894352251040287995

Catatan Henri Nurcahyo

Namanya singkat, Sukri. Hanya itu saja. Namun pengabdiannya dalam pengolahan sampah jauh lebih panjang dari namanya. Selama 22 (baca: dua puluh dua) tahun hidupnya mengabdi sebagai petugas pengolahan sampah di Depo Sampah Bibis Karah kecamatan Jambangan Surabaya. Toh hal ini tidak menjadikannya sebagai sosok yang istimewa. Sukri dianggap bukan sebagai tokoh, tidak layak ditulis menjadi berita ketika sakit kritis dan opname di rumahsakit. Bahkan ketika dia menghembuskan nafas terakhir pun Sukri dianggap tidak ada maknanya apa-apa.

Kalangan aktivis LSM yang bergerak dalam lingkungan hidup, khususnya sampah di Surabaya tahu persis siapa dan bagaimana pengabdian seorang Sukri. Sekian tahun yang lalu Depo Sampah yang ditanganinya memang sama saja dengan TPS (Tempat Pembuangan Sampah) pada umumnya. Kemudian datanglah LSM bernama “Sahabat Lingkungan” yang melakukan pendampingan sehingga menjelma menjadi Depo Sampah Terpadu. Bukan hanya sebagai tempat pembuangan sampah, melainkan juga melakukan pemilahan sampah, mengolah sampah organik menjadi kompos dan menyalurkan sampah anorganik sebagai bahan baku daur ulang ke pabrik-pabrik.

Dari Depo Sampah Bibis Karah itulah kemudian dilancarkan kampanye pelestarian lingkungan, khususnya pengolahan sampah ke wilayah sekitarnya, dan menjadi sasaran studi banding dari berbagai sekolah, universitas, perkantoran, dan tamu-tamu berbagai daerah di Indonesia bahkan mancanegara. Salah satu dampak positif kampanye lingkungan itu adalah lahirnya “Kampung Wisata Jambangan” yang berada hanya sepelemparan batu dari lokasi DST Bibis Karah.

Selama masa pendampingan itu tugas Sukri bukan lagi sebagai tenaga pengangkut sampah dari rumah ke rumah sebagaimana sebelumnya. Dialah yang menjadi tenaga lapangan dalam pembuatan kompos, bahkan dengan lancarnya bercerita di depan para tamu ketika ada kunjungan studi banding. Sebuah rumah kecil yang menyatu dengan lokasi Depo tempatnya bekerja itu telah menjelma sebagai semacam laboratorium dan pusat kampanye pengolahan sampah organik. Gerakan kampanye dengan menjadikan DST Bibis Karah sebagai pilot project ini pula yang kemudian mengantarkan Drs. Satrijo Wiweko meraih gelar Master Teknik Lingkungan dari ITS Surabaya. (Mudah-mudahan dia membaca tulisan ini, hn).

Singkat cerita, sekitar setahun yang lalu Pak Sukri mulai sakit-sakitan. Dia tak mampu lagi bekerja sebagai pengolah sampah menjadi kompos, hingga akhirnya berhenti dari pegawai Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya dalam status pegawai honorer. Tentu saja tidak ada uang pensiun dan tunjangan apapun, justru ketika dia sedang kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi keluarganya. Tak lama kemudian Sukri harus dirawat di rumah sakit, sempat keluar beberapa lama, kemudian masuk lagi. Sampai akhirnya pertengahan Desember lagi-lagi masuk RS Dr. Soetomo Surabaya dalam keadaan koma terus menerus sampai dengan nafas terakhir dihembuskannya Sabtu dini hari, 11 Januari 2014, sekitar pukul 01.10 WIB.

Sebagai keluarga miskin, memang nyaris tidak ada biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatannya. Semuanya ditanggung pemerintah dari jaminan kesehatan. Tetapi dengan kondisi seperti itu, tentu sangat berpengaruh bagi kelangsungan ekonomi keluarganya. Termasuk, anak dan menantunya yang kemudian menampung Pak Sukri di rumahnya di Jambangan sejak dia sakit-sakitan. Rion, sang menantu, yang bekerja sebagai sopir pribadi tentu harus banting tulang mengatasi kebutuhan ekonomi keluarga. “Minimal untuk riwa-riwi dan menjaga Bapak di rumahsakit tentu butuh biaya Pak,” kata Rion.

Yang ironis adalah, pengabdiannya berbuah penyakit kronis akibat polusi sampah. Penyakit yang diderita Pak Sukri justru akibat dia terlalu intens bergelut dengan sampah. Menurut dokter yang merawatnya, sebagaimana ditirukan Rion, paru-paru Pak Sukri sudah gosong, hatinya mengkerut, dan dampaknya menjalar kemana-mana termasuk ke ginjal dan pecahnya pembuluh darah. “Dokter sudah angkat tangan, sehingga sejak masuk RS Bapak terus menerus mengenakan masker zat asam,” kata Rion yang setiap malam harus berjaga di RS, sementara besoknya harus bekerja sebagai sopir.

Dari sudut pandang ketokohan, Pak Sukri bukanlah siapa-siapa. Dia “tidak layak” diberitakan sakitnya, ditulis mengenai kematiannya, apalagi sampai dibuat tulisan In Memoriam. Biarlah saya sendiri yang menulis tentang dia, menghargai dedikasinya, mengenang kepergiannya. Saya tulis di blog saya sendiri, saya sebarkan di status Facebook, sehingga saya tidak perlu meminta persetujuan redaktur untuk menuliskannya lantaran takut tidak dimuat.

Bagi saya pribadi, Pak Sukri adalah Pahlawan Sampah, tepatnya Pahlawan Pengolahan Sampah. Karena jasa orang-orang seperti Pak Sukri inilah maka Surabaya mendapatkan hadiah Adipura Kencana, juga penghargaan dari luar negeri karena kota Surabaya dianggap berhasil mengelola sampah dan menjaga kebersihan. Sementara yang mendapat nama harum justru Walikota Surabaya.

Orang-orang seperti Pak Sukri di Surabaya setidaknya berjumlah 225 orang, itu kalau dihitung dari jumlah TPS yang ada di kota ini. Jika Pak Sukri yang sudah bekerja 22 tahun saja masih berstatus pegawai honorer, bisa dibayangkan yang lainnya. Sejak Pak Sukri berhenti sebagai pengelola Depo, sampai dengan saat meninggalnya belum ada petugas pengganti. Hanya ada satu dua petugas pengolah kompos yang bekerja sukarela, dan bukan secara khusus bertanggungjawab terhadap keberlangsungan DST Bibis Karah sebagaimana yang dilakukan Pak Sukri. Tidak ada lagi program budidaya berbagai tanaman organik sebagai percontohan menggunakan kompos sebagaimana dulu. Bahkan lingkungan Depo nampak kotor tidak terawat bersih dan rapi lagi.

Pak Sukri hanyalah seorang petugas sampah. Secara fungsional hampir sama dengan petugas sampah yang tiap hari mengangkut sampah dari halaman rumah kita. Barangkali kita perlu introspeksi, apakah mereka sudah mendapatkan perhatian yang sewajarnya dari penduduk kampung yang sangat tergantung terhadap jasanya? “Orang-orang semacam dia punya manfaat yang NYATA pada manusia lainnya. Masih banyak orang semacam Pak Sukri yang ada di sekitar kita. Mohon hargai upaya mereka. Beri senyuman, sapaan dan obrolan, dan bila perlu beri pula tambahan imbalan. Jangan nunggu hanya saat mau lebaran untuk sekadar memberi imbalan,” tulis Teguh Wahyu Utomo alias Tom, sahabat baik yang mengomentari status FB saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun