Oleh Henri Nurcahyo
Sosok Nyai Ontosoroh sudah sangat dikenal sebagai salah satu tokoh sentral dalam novel tetralogi Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer. Perempuan desa yang lugu itu dijual ayahnya kepada penguasa Belanda seiring perjalanan waktu berubah menjadi sosok yang tangguh, bernas sekaligus penuh kasih sayang.
Bagaimana kalau ketokohannya diterjemahkan dalam sebuah pertunjukan tari dan musik? Maka Ade Suharto dan Peni Candrarini melakukan kolaborasi untuk menginterpretasi terhadap perempuan cerdas yang tertindas tersebut dalam pertunjukan di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Sabtu lalu (17/8), setelah didahului pertunjukan preview untuk wartawan sehari sebelumnya. Jujur saja, keberadaan pertunjukan ini sulit dilepaskan dari teks naratif mengenai sosok Nyai Ontosoroh itu sendiri. Bahkan mudah menjebak orang untuk mencoba mencari terjemahan narasi tersebut dari gerak-gerak tari dan alunan musik. Sebuah adegan tertentu misalnya, lantas mengundang interpretasi kira-kira teks seperti apa yang sedang divisualkan dalam pertunjukan tersebut. Padahal sebagai sebuah seni pertunjukan, ia memiliki otoritasnya sendiri. Pertunjukan ini (seharusnya) bukan merupakan sebuah audio-visualisasi dari narasi Nyai Ontosoroh dalam novel Pram. Analogi gampangnya, ketika sebuah novel difilmkan maka ia hadir bukan visualisasi novel melainkan sebagai karya film itu sendiri. Persoalannya, memang tidak segampang mengatakannya. Membebaskan diri dari hegemoni teks naratif itu menjadi sangat penting dalam menikmati karya kolaborasi Ade Suharto (Australia) dan Peni Candrarini (Surakarta). Mereka berdua sepakat memberikan pemaknaan dalam tari dan musik ketika sama-sama tertarik dengan sosok Nyai Ontosoroh.
Waktu itu Peni sedang menjalani residensi seniman di California, AS, sedangkan Ade berada di negaranya sendiri. Pementasan di Taman Budaya Jawa Tengah ini adalah sebuah pertunjukan preview sebelum dihadirkan di Adelaide, Australia, 16-17 September nanti. Tetapi nampaknya karya ini bukan benar-benar pertama kali disajikan. Sebab karya ini pernah diunggah di Youtube tanggal 15 September 2012 pada sebuah pertunjukan yang masih minimalis. Mungkin itu masih eksperimen, belum saatnya di-share untuk publik. Maka ketika mereka berdua mendapat hibah dari Kelola Fondation dan Asialink Proyect, tibalah saatnya digelar untuk umum.
Bagaimana gambaran terhadap sosok Nyai Ontosoroh itu dilantunkan oleh Peni dalam sebuah tembang Kapang (nyanyian kerinduan), tentu saja dalam bahasa Jawa, yang syairnya dia tulis sendiri. Tembang kapang ini menyuarakan kerinduan yang terhalang, bagaikan matahari dan bulan yang tak pernah bisa bertemu. Bahwa Ontosoroh adalah perempuan dari Jawa Timur yang sinarnya mencorot bagai matahari. Dikisahkan bagaimana sosok Ontosoroh muda sebagai Sanikem, sebagai gadis desa yang harus patuh pada ayah yang “menjualnya” kepada Tuan Mellema. Kemudian Sanikem berkenalan dengan budaya Barat, sampai akhirnya dia menjadi perempuan yang tangguh dan kuat menghadapi penderitaan dan bahkan mampu membalas dendam atas derita hidupnya dengan caranya sendiri. Cara yang halus namun mematikan. Menurut Peni, pada mulanya gerakan-gerakan dalam tari ini memang berasal dari lirik tersebut. Bahwa tari memang menerjemahkan lirik. Ade menggunakan idiom-idiom tari klasik Jawa sebagai dasar eksplorasi geraknya. Begitu pula aransemen musik memperkuat ekspresi gerak tersebut. Visualisasi budaya Barat sebagai dunia baru bagi Sanikem ditunjukkan dengan Tarian Salsa. Dan yang menarik, peran pemusik bukan hanya duduk manis sebagai pengiring belaka, melainkan ikut tampil dan mondar-mandir dalam arena dengan peran tetap sebagai pemusik. Bagaimana menggambarkan suasana hati Ontosoroh atau situasi yang sedang terjadi digambarkan secara bergantian antara ekspresi tari dan musik. Tidak berlebihan kiranya jika pada mulanya karya ini memang dikemas sebagai bentuk “berdialog dengan musik” yang dimainkan kelompok Plenthe Percussion. Pada mulanya, penari Ontosoroh itu akan dilakukan oleh Ade Suharto sendiri. Namun hanya seminggu sebelum pertunjukan, Ade mengalami kecelakaan sehingga harus menggunakan penyangga untuk dapat berjalan. Beruntunglah ada Eno, penari yang sudah punya pengalaman sebagai “penari cadangan” dalam berbagai pertunjukan. Kali ini dia tidak hanya siap di balik panggung, namun betul-betul turun sendiri menggantikan penari utama.
Kehadiran sosok Eno memerankan Nyai Ontosoroh justru merupakan blessing in disguise sehingga interpretasi terhadap karakter Ontosoroh tidak sepenuhnya sebagaimana menurut Ade Suharno. Eno dipaksa dalam sebuah situasi untuk mengekspresikan karakter Ontosoroh dengan keterbatasan waktu yang sangat sempit dan faktor fisik Eno sendiri. Bisa jadi Ade tidak mungkin mengelak bahwa tidak semua gagasannya dapat diekspresikan oleh Eno, dibandingkan ketika dia menarikan sendiri. Namun justru karena Eno punya kesempatan untuk mengembangkan imajinasinya itulah pertunjukan ini jadi menarik.
Sayangnya nama Eno (Retno Sulistyorini) yang sangat berjasa itu tidak sempat terpublikasikan sebagaimana yang seharusnya. Setidaknya dalam siaran pers yang diedarkan panitia, tidak ada nama Eno dicantumkan sebagai penari sama sekali. Padahal pekerjaan yang harus dilakukannya sungguh tidak gampang. Sementara itu, sosok Nyai Ontosoroh memang sangat kompleks. Tidak mungkin dapat memvisualkan semuanya dalam sebuah pertunjukan yang hanya mengandalkan gerak dan bunyi. Berbeda dengan monolog Happy Salma yang juga pernah membawakan lakon soal Ontosoroh ini. Namun kali ini Peni dan Ade nampaknya berusaha semaksimal mungkin bagaimana karakter yang kompleks itu dapat tampil menjadi visualisasi yang artistik. Peni memiliki bekal banyak sebagai pesinden, vokalis, komposer yang bahkan merambah ke musik kontemporer. Betapa bergemuruh dada Ontosoroh menghadapi segala problematikanya dapat dirasakan dalam sebuah pertunjukan ketika Peni melantunkan nyanyian dengan kata-kata tanpa makna. Ada jerit tangis yang menyayat, ada kemarahan yang terpendam, dan gejolak jiwa seorang Nyai yang gagah berani dalam kehidupannya yang getir.