Satu-satunya jurnal yang secara khusus membahas kekayaan budaya Jawa Timur telah terbit. Namanya Jurnal Budaya BranGWetaN. Edisi perdana jurnal setebal 200 (dua ratus) halaman ini beredar tanggal 20 Mei 2015 di arena Kongres Kebudayaan Jawa Timur 2015 di Taman Candra Wilwatikta, Pandaan, Pasuruan.
Terkait dengan Kongres tersebut, maka Jurnal ini membuat laporan khusus 10 (sepuluh) halaman mengenai perjalanan Kongres Budaya Jatim sejak tahun 1988 hingga tahun 2010. Termasuk juga rekomendasi yang dihasilkannya, dan juga rekomendasi dari Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2013 di Yogyakarta dan rekomendasi World Culture Forum (WCF) di Bali tahun 2013 juga yang disebut Bali Promise. Jadi Kongres Kebudayaan Jatim ini bukan yang pertama kalinya.
Laporan Utama Jurnal ini sebetulnya tentang “Seni Kontemporer dan Medan Seni Rupa”, yang diambil dari prosiding sosialisasi Biennale Jatim akhir tahun lalu, yang disampaikan oleh Djuli Djatiprambudi. Dalam artikel panjang ini Ketua Jurusan Seni Rupa FBS Unesa ini bukan bercerita Biennale secara sempit, melainkan bagaimana memahami seni kontemporer itu sendiri, sebagaimana yang menjadi muatan utama dalam sebuah perhelatan bernama Biennale.
Terkait dengan Biennale, maka Kuss Indarto menuliskan panjang lebar mengenai perjalanan Biennale di seluruh dunia selama 20 tahun terakhir. Dalam artikel ini dapat diketahui, bahwa di berbagai negara, yang namanya Biennale itu ternyata mendapatkan tempat yang istimewa dan diperlakukan istimewa oleh pemerintah negara masing-masing. Kurator Galeri Nasional asal Yogyakarta ini membeberkan data-data yang sangat lengkap perihal Biennale (juga Triennale) dari tahun ke tahun.
Maka Agoes “Koecink” Soekamto yang memang selalu terlibat dalam Biennale Jatim, kemudian melengkapi dengan catatan penyelenggaraan Biennale Jatim sejak pertama kali hingga yang kelima kalinya, dua tahun yang lalu. Dan masih terkait dengan isu seni rupa, ada juga artikel tentang rahasia sukses pelukis Masdibyo yang ditulis oleh pelukisnya sendiri: “Kiatku menjadi Masdibyo”.
Tulisan yang lain, soal “Wasiat dan Warisan Slamet Abdul Syukur”, komponis eksentrik yang meninggal dunia menjelang usianya ke-80. Mengapa lelaki kelahiran Surabaya yang tinggal di Jakarta (dan Surabaya) ini menulis surat wasiat bahwa dia ingin dimakamkan di Boyolali? Siapakah yang disebut “Nyonya Marti?” dalam surat wasiat itu? Apa istimewanya?
Kita seringkali silau melihat budaya dari luar, menganggapnya lebih baik ketimbang budaya sendiri. Padahal kita sendiri ternyata belum mengenali budaya yang kita miliki. Itulah yang menjadi keprihatinan Prof Haryono, akademisi dari Universitas Negeri Malang (UM). Diperlukan pemahaman yang baik perihal budaya bangsa sendiri di tengah modernisasi. Dan pula harus ditegaskan, bahwa membangun sebuah bangsa haruslah berlandaskan tradisi budaya milik bangsa sendiri, sebagaimana yang dilakukan Korea, Cina dan Jepang.
Bagaimana dengan budaya Indonesia? Benarkah Indonesia adalah negara agraris? Apakah budaya pertanian sudah mendarah daging di negri ini? Lantas, mengapa masih banyak komoditas pertanian yang masih impor? Agaknya, Budaya Agraris memang berada di simpang jalan.
Seringkali ditemukan fakta, bahwa yang namanya tradisi itu dianggap usang dan kadaluarsa. Padahal dalam tradisi itu terkandung nilai-nilai budaya yang sangat berharga. Itulah yang terdapat dalam tradisi ritual Suroan serta berbagai tradisi lain yang tercakup dalam Pengetahuan Tradisional dan Budaya Tradisional. Tidak banyak yang tahu, apa makna simbol-simbol dalam berbagai ubarampe yang digunakan dalam ritual ini. Kekayaan budaya yang beraneka juga terdapat dalam Janger, sebuah seni pertunjukan dari Banyuwangi yang khas. Kesemuanya itu musti kita pertahankan, agar tidak terpendam dalam gilasan zaman sebagaimana Terung, kadipaten yang hilang. Atau, kita harus mengais-ngais peninggalan artefak di relief-relief candi untuk menemukan kekayaan budaya berupa Cerita Panji.
Jurnal ini memang tidak melulu bicara masa lalu, soal tradisi yang menjadi klangenan, namun juga bicara kebudayaan modern. Tetapi, tradisi dan masa lalu harus tetap dicermati agar kita tidak mengulangi kesalahan dalam sejarah. Bahkan, seorang Bambang Ginting yang sudah meninggal 11 tahun yang lalu pun meninggalkan jejak-jejak pemikiran yang menarik dalam dunia seni tari.
Begitulah, Jurnal ini ingin memberikan kontribusi berupa catatan atas jejak-jejak budaya yang tercipta selama ini agar tidak lenyap digilas zaman. Namun dalam ketika yang sama, Jurnal Budaya Brangwetan juga mengajak kita semua untuk memandang dengan kacamata optimisme terhadap perkembangan kebudayaan di masa mendatang. Bukankah kebudayaan bukan kata benda? Kebudayaan, tentulah harus dimaknai dengan kata kerja. Kebudayaan selalu bergerak lantaran bersifat dinamis. Gerak itulah yang menandai adanya kehidupan. Bahwa hidup adalah gerak. Salam.
Henri Nurcahyo
( henrinurcahyo@gmail.com )