Mohon tunggu...
Henri Nurcahyo
Henri Nurcahyo Mohon Tunggu...

Menulis apa saja, sepanjang memungkinkan. Lebih lengkap tentang saya, sila klik: http://henrinurcahyo.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Rahasia Dunia Pertama Sudjojono

6 Oktober 2013   09:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:56 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_270532" align="alignleft" width="300" caption=""][/caption]Judul Buku : Sudjojono dan Aku
Penulis : Mia Bustam
Penyunting : Hersri Setiawan
Penerbit : Institut Studi Arus Infornasi (ISAI)
Cetakan : Kedua (Agustus 2013), Revisi
Tebal : xiv + 316 hal (termasuk indeks) Bagi siapapun yang hendak mengenal siapa Sudjojono sesungguhnya, bacalah buku ini. Sebuah buku yang ditulis sendiri oleh isteri pertama pelukis legendaris itu, Mia Bustam, yang semula hanya untuk kalangan sangat terbatas keluarga sendiri, tahun 2003.

Tiga tahun kemudian, 2006, catatan pribadi itu diterbitkan untuk umum dengan mengurangi hal-hal yang dianggap kurang penting diketahui publik. Dan untuk memperingati 100 Tahun Sudjojono, kali ini buku itu diterbitkan lagi setelah diedit dan dilengkapi dengan beberapa tulisan dari anak-anak Sudjojono sehingga menjadi dokumen sejarah yang sangat berharga. Banyak rahasia terungkap dalam buku ini, sehingga mampu membeberkan fakta-fakta sejarah yang mengejutkan.

Dalam peta sejarah seni rupa Indonesia modern Sudjojono dikenal sebagai pelukis yang memiliki pemikiran penting dalam hal kebangsaan dan nasionalisme. Ketika seni lukis Indonesia dilecehkan sebagai jiplakan Barat, dia membela dengan kredonya yang terkenal “kami tahu kemana seni lukis Indonesia akan kami bawa.” Dia juga rajin menulis dengan berbagai pernyataan yang tegas dalam membela semangat dan harga diri seniman berikut karya-karyanya. “Ia menekankan pentingnya ‘merdeka’ baik sebagai individu maupun sebagai bangsa, dan pentingnya kekuatan serta kualitas mental bangsa,” tulis Suwarno Wisetrotomo, kurator pameran memperingati 100 Tahun Sudjojono di Galeri Nasional yang berakhir 6 Oktober ini.

Dia juga terkenal dengan kredo “Jiwa Ketok” sebagaimana dikatakan dalam risalahnya, “kalau seorang seniman membuat suatu barang kesenian, maka sebenarnya buah kesenian tadi tidak lain dari jiwanya sendiri yang kelihatan.”

Tetapi, bagaimanakah sebenarnya kondisi yang terjadi di balik itu semua? Kisah-kisah dalam buku ini saya sebut “dunia pertama” Sudjojono karena menceritakan masa-masa berumahtangga bersama Fransiska Emanuela Sasmiati alias Mia Bustam (1943-1959). Sebab setelah itu, pelukis kelahiran Kisaran tahun 1913 bercerai dan menikah dengan penyanyi seriosa Rose Sumabrata hingga akhir hayatnya, 25 Maret 1986. Mia sendiri meninggal dunia 2 Januari 2011 sehingga buku ini sekaligus untuk mengenang kepergiannya.

Salah satu rahasia itu adalah bahwa sebelum menikah dengan Mia, ternyata Sudjojono pernah hidup “berumahtangga” dengan seorang Pekerja Seks Komersial (PSK) bernama Adhesi. Sudjojono sengaja mengentasnya dari kompleks pelacuran Senen agar dia hidup “baik-baik”. Tetapi setelah Sudjojono keluar dari pekerjaannya, Adhesi yang sudah diganti namanya menjadi Miryam itu melarikan diri sampai tiga kali namun selalu dicarinya kembali. Dan setelah melarikan diri untuk keempat kalinya, Sudjojono menyerah dan menganggap dirinya gagal menyadarkannya.

Dan ternyata, sosok Adhesi alias Miryam itulah yang menjadi model salah satu lukisan Sudjojono yang terkenal “Di depan Kelambu Terbuka” (1939). Pantas saja kritikus Sanusi Pane berkomentar, “seperti ada derita di balik sosok perempuan itu.” Bahkan Umar Kayam pernah menulis di Harian Kompas dengan melemparkan pertanyaan, “siapa perempuan Di Depan Kelambu Terbuka itu?” Dalam buku ini Mia menuturkan, anaknya yang pertama (Tedjabayu) berkesempatan bertemu Umar Kayam sebelum meninggal dunia dan menerangkan siapa perempuan berwajah melankolik dan misterius itu.
Dikenal dengan nama Sindudarsono Sudjojono atau S. Sudjojono, nama aslinya adalah Sudjiojono (ada sisipan huruf “i” di tengahnya), anak pasangan Sindudarmo dan Marijem, keduanya buruh kontrak di perkebunan karet di Deli. Padahal Sindudarmo adalah keturunan kedelapan Sunan Muria, salah seorang Walisanga. Sementara Marijem adalah wanita desa Krapyak di lereng Merapi yang melarikan diri ketika dipaksa hendak dinikahkan oleh orangtuanya, hingga terdampar di Deli sebagai buruh kontrak.

Riwayat kehidupan Sudjojono bersama Mia Bustam ini terasa kompleks, dramatis dan heroik karena mengalami masa transisi kemerdekaan negeri ini. Justru dalam masa-masa kritis itulah lahir karya-karya masterpiece Sudjojono seperti “Ibu Menjahit” (1943), “Sayang Aku Bukan Anjing” (1944), “Kawan-kawan Revolusi” (1947), “Sekko” (1950), dan “Mengungsi” (1951). Mia dapat menceritakan satu persatu latar belakang peristiwa yang melahirkan karya-karya monumental itu. Termasuk, sebuah lukisan yang bercerita mengenai anggota laskar yang dipanggil Bung Dullah. Model dalam lukisan itulah yang maju bersabukkan sejumlah granat berjibaku menubrukkan dirinya pada iring-iringan tank serdadu Belanda. Konon empat buah tank hancur bersama dia sendiri dalam ledakan dahsyat. Lukisan yang kemudian dikoleksi Bung Karno itu sempat dibanggakannya di depan tamu negara dari Uni Soviet. Tamu itu kemudian mengajak rekan-rekan senegaranya berdiri di depan lukisan itu, mengheningkan cipta bagi Bung Dullah, pahlawan yang sederhana.

Sudjojono mengakui dirinya adalah lelaki nakal yang doyan ke tempat mesum sebagai “pelarian” cinta pertamanya yang gagal dengan gadis Betawi karena tak mampu membayar mahar. Begitu jatuh cinta dengan Mia, kebiasaannya berbalik 180 derajat, kemudian menjadi suami sangat setia, penganjur monogami, menegur teman-temannya yang masih “njajan” dan mempermainkan perempuan. Bahkan Sudjojono dikenal sebagai pembela perempuan yang tertindas hingga akrab dengan para aktivis Gerwani.

Namun prinsipnya ini berbalik lagi ketika terpilih menjadi anggota DPR Pusat mewakili PKI. Padahal sebelumnya Sudjojono dikenal seniman yang menjunjung tinggi kebebasan, tidak terkooptasi golongan dan partai apapun. Keteguhannya membela perempuan juga disangsikan ketika kemudian dia menceraikan Mia dengan 8 anaknya, menikah lagi dengan Rose Sumabrata (sebelum diganti Rose Pandanwangi). Soedjojono tidak lagi intens menulis, padahal sebelumnya dikenal sebagai penulis yang galak. Sampai akhirnya dia justru dinonaktifkan sebagai ketua Seniman Indonesia Muda (SIM) yang didirikannya sendiri. Tragisnya, PKI juga kemudian memecatnya sebagai anggota parlemen sekaligus anggota partai. (Menurut Tedjabayu, anak sulungnya, Sudjojono mengundurkan diri).

Abang Rahino, anak bungsu Sudjojono - Mia memberi kesaksian, langkah (inkonsisten) bapaknya itu telah membimbingnya ke kelesuan kreativitas kerja berkeseniannya, yang terlihat pada karya-karyanya sejak 1957. Dan memang sejak menikah dengan Rose, nyaris tak ada karya monumental yang lahir dari tangannya, kecuali yang menggunakan model isterinya sendiri. Hal ini senada dengan kesaksian ayah angkatnya, Yudhokusumo, yang bisa menilai lukisan Sudjojono tidak lagi alami seperti sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun