Mohon tunggu...
Henri Nurcahyo
Henri Nurcahyo Mohon Tunggu... -

Menulis apa saja, sepanjang memungkinkan. Lebih lengkap tentang saya, sila klik: http://henrinurcahyo.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Manusia Pemakan Bangkai, Sebuah Pertunjukan

17 Agustus 2013   10:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:12 1122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan Henri Nurcahyo Sesungguhnya manusia memang pemakan bangkai. Itu fakta. Tidak ada yang aneh. Sebab daging yang dimakan manusia itu berasal dari bangkai hewan. Bukankah hewan yang sudah mati itu disebut bangkai? Justru menjadi sadis kalau manusia memakan daging langsung dari hewan hidup. Fakta inilah yang disodorkan dalam pertunjukanManusia Pemakan Bangkai” oleh Padepokan Lemah Putih di Taman Budaya Jawa Tengah, Sabtu lalu (15/8). Sepintas membaca judul pertunjukan ini langsung menohok kesan bahwa ini mengisahkan sesuatu yang sadis, horor, bahkan menjijikkan. Padahal, memang seperti itulah fakta yang sebenarnya terjadi. Selama ini manusia memakan sate, rawon, gulai, dan semua daging dalam bentuk yang sudah dimasak. Namun tidak pernah disebut bahwa mereka memakan daging bangkai. Persoalannya adalah, apakah manusia sudah menyadari, apalagi berterimakasih, bahwa para hewan telah berkorban untuk kepentingan perut manusia? Memang, pengertian “bangkai” itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Kalau merujuk makna dalam Islam, bahwa yang disebut bangkai itu adalah Al Mayyitah, yaitu mahluk hidup yang mati tanpa disembelih, atau yang disembelih namun tidak syar’i (seperti kambing yang disembelih orang musyrik), atau juga meskipun sudah memenuhi syar’i namun binatang itu sendiri sudah tidak halal (misalnya babi).

137671043515747769
137671043515747769
Tanpa bermaksud memperdebatkan batasan tersebut, barangkali tidak ada salahnya mempertanyakan, misalnya: apakah sate yang kita makan itu berasal dari daging hewan yang sudah disembelih sesuai syar’i (sehingga layak untuk tidak disebut bangkai)? Bagaimana dengan pemotongan ayam yang dilakukan dengan mesin penyembelih sehingga sekali tebas langsung puluhan bahkan bisa jadi ratusan ayam sekaligus terputus lehernya? Berikutnya, bagaimana dengan hewan yang disembelih oleh nonmuslim? Apakah makna bangkai hanya monopoli Islam? Kalau mau berdebat, memang bisa panjang lebar membahas soal bangkai ini. Namun justru adanya perdebatan itulah yang menjadi menarik ketika disodorkan oleh Suprapto Suryodarmo (Mbah Prapto) dalam pertunjukannya kali ini. Kalau selama ini kita makan daging tidak pernah berpikir soal termasuk bangkai atau tidak (versi Islam), maka dalam pertunjukan ini hal itu jadi mengemuka. Oleh Mbah Prapto, daging yang selama ini hanya dikenal sehari-hari dalam bentuk masakan tersebut dihadirkan dalam bentuk daging mentah dalam arti yang sesungguhnya. Dibutuhkan sekitar 8 (delapan) kilo daging sapi yang dipergunakan sebagai properti. Tidak termasuk daging kambing yang dibakar di depan pintu masuk dan memang dipersiapkan sebagai sate untuk pengunjung. Daging-daging mentah dalam pertunjukan itu ditimpakan sedemikian rupa ke tubuh-tubuh penyaji, dipeluk, digeluti, dijatuhkan dari ketinggian, dicuci dalam baskom, ditusuki menjadi sate, sampai dengan dibakar hingga menjadi sate yang langsung dapat dimakan oleh penonton. Pertunjukan yang hanya berlangsung sekitar 30 menit itu seluruhnya didominasi dalam guyuran tata cahaya berwarna merah, seolah mengesankan warna darah. Nampak bergelantungan sejumlah besi pencantol daging yang langsung mengingatkan suasana rumah pembantaian atau jagal. Daging berserakan di beberapa tempat. Daging dimain-mainkan, digendong, dicumbui, atau juga didorong-dorong.
1376710499382434977
1376710499382434977
Mula-mula penyaji pria dan wanita tidur berdampingan di atas semacam panggung papan panjang yang dibuat miring ke arah penonton. Daging-daging dalam potongan besar berserakan di Sepanjang papan itu, juga membalut tubuh keduanya. Kemudian penyaji pria menggeliat, seperti hendak menindih tubuh wanita, lantas turun pelan-pelan. Sementara penyaji wanita menggeserkan tubuhnya ke belakang, terus ke belakang sampai dengan posisi berdiri. Pada waktu itu, daging-daging berjatuhan dari atap. Dalam sepanjang pertunjukan, penyaji wanita ini (Fitri Setyaningsih) hanya bermain-main di atas papan, sampai kemudian papan beroda itu digeser, diputar-putar, sampai menghadap pintu keluar dan wanita itu turun sambil membawa baskom berisi daging menuju petugas yang sedang membakar sate di serambi Teater Arena. Sebagaimana gaya pertunjukan Mbah Prapto selama ini, tidak ada dialog sama sekali. Semuanya berlangsung dalam gerak yang diam, kadang ada rengeng-rengeng bahasa Jawa, atau iringan lagu berirama meriah mengiringi tarian anak muda. Selama Fitri berada di atas papan, Mbah Prapto mengeksplorasi tubuh sebagaimana biasa, bermain-main dengan daging, dan menjalankan suatu ritual dengan seperangkat ubarampe dalam sebuah tampah. Sedangkan dua penyaji lainnya (Danang Ramadhan dan Maharani Ayu) -dan inilah yang menjadi kontras- menari dengan gerakan-gerakan dan irama pop sebagaimana layaknya anak muda. Bahkan pada menit-menit terakhir menjelang pertunjukan berakhir, mereka menyeret penonton untuk ikut menari bersama. Dan ketika pintu dibuka, aroma sate yang khas segera menyengat penciuman penonton. Perlakuan Terhadap Daging
1376710572382369816
1376710572382369816
Lantas, apa yang bisa ditangkap dari pertunjukan ini? Bukan sebuah kesimpulan tunggal, melainkan justru berupa gugatan yang bakal terus menerus menghantui kepala kita. Bahwa daging yang selama ini kita makan menjadi perdebatan, menjadi bahan diskusi, bahkan kita dipaksa untuk berpikir ulang sebelum mengkonsumsinya. Dalam pertunjukan itu dapat disaksikan bahwa daging telah diperlakukan sebagai benda biasa saja, yang ditusuk-tusuk seenaknya, dibakar dan akhirnya dimakan bersama-sama. Ending pertunjukan berupa ajakan semua penonton untuk menikmati sate yang baru saja dibakar seperti menegaskan, bahwa sesungguhnya kita semua adalah pemakan bangkai. Mereka mungkin berkata, “Ternyata enak ya satenya.” Ya mereka menyebutnya sate, bukan bangkai. Namun ada juga yang memperlakukan daging sebagai sesuatu yang sakral, yang harus dimanterai, harus ada ritual tertentu sebelum memanfaatkannya. Bukankah dalam Islam ada kewajiban berdoa lebih dulu sebelum menyembelih hewan? Justru adanya doa itulah yang memberikan garis batas apakah daging hasil penyembelihan itu tergolong bangkai atau buka (versi Islam). Dalam kepercayaan yang lain, tentu ada juga ritual-ritual tertentu terkait bagaimana memperlakukan hewan hingga menjadi daging sebagai bahan konsumsi. Ritual ini, dan juga doa, setidaknya juga bermakna sebagai ucapan terima kasih, bersyukur, dan sebagai bentuk penghormatan atas “kerelaan” hewan berkorban bagi manusia. Memang sudah kodratnya bahwa hewan merupakan salah satu bahan makanan bagi manusia. Tidak ada sebutan sadis atau kejam ketika manusia membunuh hewan untuk makanannya. Bayangkan kalau sebaliknya, manusia dimangsa hewan. Bukan tidak mungkin hewan juga berhak mengklaim, bahwa manusia merupakan salah satu bahan makanan hewan.
13767106471622513827
13767106471622513827
Pertunjukan ini juga menghadirkan sisi lain, bahwa ada sebagian diantara kita yang sepertinya tidak perduli terhadap kesakralan daging. Mereka hidup di dunia hura-hura, dunia yang profan, seakan-akan menjadi sebuah penegasan bahwa sebetulnya mereka sendiri tak ubahnya seperti hewan dalam tingkatan sedikit lebih tinggi. Hewan yang hanya menjalani hidup sebagai keniscayaan sebuah mahluk hidup. Menarilah sepuasnya, bergembiralah, mari kita sama-sama bersukaria memakan sate. Nikmat....
13767106911436524071
13767106911436524071
Beberapa saat menjelang pertunjukan, Mbah Prapto sekilas mengatakan pada saya, bahwa pertunjukan ini terilhami oleh relief di Candi Jago. Dan ternyata, candi yang berada di kawasan Malang itu memang banyak memuat relief cerita Kresnayana, Parthayana, Arjunawiwaha, Kunjarakharna, Anglingdharma, serta cerita fabel. Entah relief bagian yang mana yang menjadi sumber inspirasinya, Mbah Prapto tidak mengatakannya. Sebab cerita fabel dalam relief itu berisi kisah seekor kura-kura sombong, yang diterbangkan oleh angsa dengan cara menggigit sebatang kayu. Di tengah perjalanan kura-kura ditertawakan segerombolan serigala, kura-kura marah, membalas ejekan sehingga tanpa sadar melepaskan gigitannya. Kura-kura terjatuh lantaran tak bisa menahan emosinya, sehingga akhirnya justru menjadi mangsa serigala. Relief lainnya berkisah mengenai Yaksa Kunjarakarna yang menyampaikan keinginan pada dewa tertinggi, Sang Wairocana, untuk mempelajari ajaran Budha. Yaksa (raksasa) itu ingin berubah ujudnya menjadi manusia dan dikabulkan oleh Wairocana setelah menerima nasehat dan patuh pada ajaran Budha. Dan relief Arjunawiwaha meriwayatkan perkawinan Arjuna dengan Dewi Suprabha sebagai hadiah dari Bhatara Guru setelah Arjuna mengalahkan raksasa Niwatakawaca. Cerita Parthayana (Subhadrawiwaha) berkisah tentang kawin lari Arjuna dengan Subhadra. Dalam cerita ini ada bagian yang terkait dengan pembunuhan hewan, yaitu ketika Arjuna membunuh buaya yang kemudian menjelma menjadi bidadari. Atau, jangan-jangan yang menjadi ilham Mbah Prapto adalah legenda Anglingdarma, yang disebut-sebut merupakan keturunan Arjuna, dan memiliki keistimewaan mampu mengetahui bahasa segala jenis binatang. Ilmu bahasa binatang ini harus dirahasiakan, termasuk pada isterinya sendiri, sehingga Setyawati (isterinya) memilih bunuh diri menceburkan ke kobaran api. Setelah itu terjadi kisah menarik, dimana Anglingdarma hampir saja terperosok menikahi tiga wanita sekaligus yang ternyata gemar memakan daging manusia. Anglingdarma, yang memergoki hal itu, dikutuk menjadi belibis putih yang bisa berujud manusia hanya pada malam hari saja. Itu sebabnya belibis (Anglingdarma) kemudian menghamili Ambarwati, puteri Darmawangsa. Hukuman Anglingdarma sebagai belibis berakhir ketika kemudian bertempur dengan Resi Yogiswara, yang tak lain adalah Batik Madrim, mantan patihnya. Singkat cerita, putera Anglingdarma, Anglingkusuma, kemudian menjadi raja menggantikan kakeknya di Bojanegara. (Itu sebabnya legenda ini diklaim sebagai cerita milik kabupaten Bojonegoro sekarang ini).
1376710727493832970
1376710727493832970
Barangkali, tidak perlu melakukan konfirmasi kepada Mbah Prapto untuk mencari tahu, cerita dari relief yang mana dari Candi Jago yang mengilhaminya. Sebagai sebuah karya seni pertunjukan, apa yang disajikannya adalah sebuah interpretasi dan ekspresi, bukan sebuah kisah relief berupa pertunjukan. “Manusia Pemakan Bangkai” setidaknya telah berhasil menggedor kepala setiap orang, bahwa ternyata kita semua adalah para pemakan bangkai. Mari kita berjoget ria, makan bangkai, eh sate, sama-sama..... Uenak tenan... (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun