Sampah merupakan masalah kultural karena dampaknya berpengaruh pada berbagai sisi kehidupan terutama di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Buruknya penanganan sampah berisiko menimbulkan pemborosan biaya kesehatan, penanganan, mencemari lingkungan dan menimbulkan masalah bagi manusia. Masalah tersebut termasuk masalah kesehatan, penyakit, kenyamanan, banjir, serta penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu, sampah harus dikelola dengan baik dan memperhatikan nilai ekonomi yang berdampak regional dan nasional yang berprinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sesuai UUD 1945 Pasal 33 ayat (4).
Produksi sampah di DKI Jakarta terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2010 rata-rata produksi sampah di 5 (lima) wilayah DKI Jakarta mencapai 6.139 ton per hari atau 2,4 juta ton per tahun (Bappeda DKI Jakarta, 2013), dan di tahun 2014, produksi sampah kembali mengalami peningkatan menjadi 8.000 ton per hari (Khairany, 2014), pada tahun  2015  sekitar 6.419 ton per hari.
Kemudian  meningkat  menjadi  6.562 ton  per hari  pada  2016,  pada  tahun  2017 meningkat lagi 6.875  ton  per  hari, kemudian  7.453  ton  per  hari  pada  tahun 2018, kemudian sekitar 7.702 ton per hari  pada  2019,  dan  data  terakhir  pada tahun  2020  sekitar  7.424  ton  per  hari.[1]Â
Sampah akan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya seiring dengan jumlah peningkatan jumlah penduduk dan jumlah orang yang bekerja di DKI Jakarta.[2] Peningkatan jumlah sampah dari TPS DKI Jakarta ke TPST Bantar Gebang Bekasi masih terus berlangsung setiap hari misalnya tanggal 18 April 2023 sebanyak sampah 8.399 ton, tanggal 19 April 2023 sebanyak sampah 9.325 ton, tanggal 20 April 2023 sebanyak sampah 8.327 ton dan tanggal 21 April 2023 sebanyak sampah 8.932 ton.[3] TPST Bantar Gebang harusnya hanya menerima residu, bukan tempat memindahkan sampah.
Bahkan produksi sampah DKI Jakarta diperkirakan mencapai 9.200 ton per hari pada 2030.[4] Dari ribuan ton sampah tersebut 53% merupakan sampah dari aktivitas rumah tangga. Peningkatan produksi sampah ini sudah menjadi salah satu isu yang serius.Â
Penyebab Permasalahan sampah DKI JakartaÂ
Permasalahan sampah di DKI Jakarta yang semakin kompleks ini tidak hanya disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk saja, namun rendahnya keseriusan pemerintah menegakkan hukum, sedangkan masyarakat belum banyak mengelola sampahnya secara mandiri yang seharusnya ada pendampingan dari pemerintah DKI Jakarta maupun Kementerian Kingkungan Hidup dari tingkat Kelurahan, RW dan RT, sampah-sampah tidak terangkut dan banyak terabaikan di tempat-tempat yang tidak seharusnya ada serta tidak sesuainya konsep pengelolaan sampah yang diterapkan pada suatu wilayah tertentu.
Pengelolaan sampah di DKI Jakarta sebagian besar tidak dikelola secara berkelanjutan, bahkan pemerintah belum serius mengurangai sampah melalui sistim Waste to Energy, dimana sampah akan diolah menjadi bahan bakar refused derived fuel (RDF) atau solid recovered fuel (SRF) yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pencampur/cofiring batubara pada PLTU, Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik/PSEL, biodigester, dan maggot untuk sampah biomas. Padahal Pemda DKI mempunyai modal yang cukup untuk itu.
Ketidak seriusan pemerintah menyelesaikan darurat sampah di DKI Jakarta, hal ini terbukti pembangunan pengolahan sampah atau Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter Jakarta Utara tidak kunjung terlaksana. Proyek pengolahan sampah berbasis lingkungan itu sudah mangkrak bertahun-tahun, dengan berbagai masalah yang terjadi. Beberapa di antaranya adalah sistem pelelangan yang tidak jelas hingga anggaran yang hilang di APBD.
Proyek ITF Sunter diketahui sudah mangkrak pembangunannya sejak dimulai era Gubernur Fauzi Bowo pada 2012. Pada 2015, Gubernur Basuki Tjahja Purnama sempat melanjutkan pembangunan namun anggaran untuk membangun ITF itu hilang dari APBD DKI. Anggaran ITF ini hilang sejak 2013 dan di 2014 yang kemudian muncul menjadi anggaran dalam bentuk anggaran UPS.[1]
Untuk mendukung program tersebut pemerintah dan apparat penegak hukum perlu tegas menegakkan hukum baik perdata dan pidana. Adapun sanksi pidana yang dapat diterapkan salah satunya UULKH pasal 29 ayat (4) yaitu menetapkan sanksi pidana kurungan atau denda dan juga sanksi administratif sesuai UULKH pasal 32, sehingga memaksa masyarakat melakukan pemilahan sampah di sumber dan rumah tangga hingga memanfaatkan sampah sebagai bahan baku daur ulang. Â