Di Suatu Tempat Mengadu Harapan
Dibolak-balik seperti apa pun sudah pasti tak mampu mengubah tinta hitam yang telah menempel pada kertas putih itu.
Kalau pun memaksa beradu tinta hitam melawan cat putih di atas gelanggang kertas putih toh sama saja. Justru malah mengundang berbagai pertanyaan.
Dan bisa-bisa, menurunkan tingkat kredibilitasnya di hadapan Pak Broto sebagai pimpinan. Bertubi-tubi pertanyaan merejam dadanya tentu hal itu yang terjadi pada dirinya.
Kegelisahan dan kegundahan hati terus menghantui. Seakan memaksa tangannya mengepal dan ingin sekali memukul meja makan di depannya.
Namun, hal itu ia urungkan. Betapa dia menghormati sosok perempuan tua renta di depannya. Perempuan tua yang mengantarkannya pada sebuah pilihan hidup, apakah bertahan menjadi preman jalanan atau menjadi penerus lidah dari Pak Broto pimpinannya.
"Aih," gumamnya dengan kedua tangan memegang kepala dan terlihat carut-marut rambutnya.
Perempuan tua itu mendekatinya. Tertatih-tatih langkahnya, kemudian menemani duduk di samping kanan pria gondrong berkumis tebal dan penuh tato di sekujur tubuh itu. Mas Brengos panggilannya.
"Bagaimana ini Mbah, aku harus beralasan apa lagi ke Pak Broto?" Sayup terdengar Mas Brengos bertanya.
Tak mendapat jawaban, Si Mbah kemudian balik bertanya, "Berapa orang yang belum mencicil kasbon itu?"
Terdengar hembusan napas keluar pelan-pelan, "Baru 3 orang dari 10 penghutang," ujarnya dengan suara lirih, "Hanya saja tiga orang ini langsung melunasi sisa cicilan". Mas Brengos menunjukan buku kasbon itu.