Walaupun kondisi jalan yang tak mendukung. Aku selalu antusias, bila berkunjung ke rumah Cak Soe. Rasa antusias itu dipengaruhi karena, keingin-tahuanku untuk menikmati suasana di kaki Gunung Arjuno, walaupun itu hanya sejenak.Â
Siang itu tepatnya pukul 13:00. Perjalanan kami cukup lama, kira-kira 50 menit. Terkendala ban belakang kurang angin. Mengharuskanku berjalan lambat, agar ban dalam bagian belakang tak menghantam keras pada velg besi yang bisa mengakibatkan ngowos alias bocor alus.
Sesampainya kami di depan rumah, Cak Soe bergegas membawakan aku pompa angin. Untuk menambah tekanan ban belakang sepeda motor.
Setelah menambah tekanan angin. Sepeda motor, aku parkir di bawah pohon mangga. Di dekat pohon mangga itu, ada lincak bambu cukup lebar. Bisa menampung hampir 5 orang. Lincak bambu itu, Cak Soe yang buat. Biasanya, di malam hari, menjadi tempat berkumpul kaula muda dan tua. Sekedar melepas penat dan saling bercerita.
Di dusun itu, Cak Soe dikenal sebagai pemuda aktif. Baik di Karang Taruna dan Komunitas Lentera Hati LDNU Kab.Pasuruan.
Selain aktif, Cak Soe memiliki perpustakaan mini. Niatnya mendirikan perpustakaan mini, karena dilatar-belakangi kurangnya fasilitas membaca di dusun tersebut. Padahal, minat baca anak-anak sekolah dasar di dekat rumah Cak Soe, sangatlah tinggi.
--000--
Aku sering membujuk Cak Soe, untuk ikut bertaruh nasib. Akan tetapi, dia selalu mengingatkanku. Tak sekali atau dua kali, beberapa orang mengajaknya untuk bertaruh nasib. Tapi toh pada akhirnya, terhenti. Dirinya harus kembali ke dusun ini.
Seperti halnya, saat dia bekerja di Bali. Dengan upah yang menurutnya sudah sangat lebih. Namun tak selang berapa lama, keluarga menuntutnya untuk pulang kampung. Kemudian, tak berputus asa. Cak Soe bertaruh nasib ke Cirebon. Tapi, tak berapa lama juga, lagi-lagi harus pulang kampung, karena alasan keluarga.
Dan kali ini, untuk yang ketiga kalinya dia betul-betul bertaruh nasib, menerima tawaranku untuk berkarya di Gresik. Sudah kuduga hanya bertahan setahun, aku pun harus rela melepasnya untuk pulang kampung.
Sore itu, sebelum aku bertolak kira-kira pukul 16:00. Lagi-lagi, aku mencoba menawarkan kepadanya. Cak Soe membalas tawaranku dengan senyum dan berkata, "Sam sudahlah. Aku ini sudah melanglang kemana saja. Toh selalu terhenti. Garisku tetap kembali ke dusun ini. Aku sudah lama merenung."
"Kuputuskan, aku menerima apa yang sudah menjadi ketetapan. Biarlah aku di sini, berkarya di sini. Selain berkebun, berjualan, aku pun menemani anak-anak itu, melayani mereka (menunjuk anak-anak yang sedang bermain congklak), memberikan bacaan-bacaan di perpustakaan mini."
Begitulah kalimat yang kudengar, sebelum aku bertolak. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi menyinggungnya untuk bertaruh nasib. Harapan sahabatku ini, sederhana. Semoga, dengan adanya perpustakaan mini. Anak-anak Dusun Penjalinan, Desa Jatisari, mengenal budaya membaca, menulis dan literasi. Harapan yang sederhana itu, adalah bagian dari cita-citanya selama ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H