Pagi itu  (22/11), Sarmun (40) tengah duduk tertegun di atas sebuah bangku kayu panjang di serambi rumahnya di Desa Krebet, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo. Ia tak berinteraksi dengan siapapun. Hanya seuntai senyum yang ia lemparkan,entah kepada siapa.
Tak jauh darinya tampak Legi (20) duduk dilantai tanpa menggunakan celana. Bajunya pun lusuh. Mata bulatnya juga hanya mengikuti Miratun (37), kakaknya, yang tengah mengaru beras. Sejajar dengan Legi duduk Misinem (30) yang tengah sibuk mengupas bawang dengan tangannya. Kedua kaki kurusnya ditekuk tak beraturan di atas tanah tempatnya duduk. Suasana senyap pun terasa. Tak ada tegur sapa apalagi senda gurau. Semuanya menderita tunagrahita sejak lahir.
Populasi orang yang menderita tunagrahita atau retardasi mental di Ponorogo mencapai 500 jiwa lebih. Jumlah ini merupakan jumlah terbesar di tanah air untuk tingkat distrik atau kabupaten. Ironisnya pasca 66 tahun kemerdekaan bangsa ini, bantuan kepada mereka masih sangat minim.
Pemandangan semacam keluarga Sarmun juga tak jauh lebih baik di keluarga lainnya. Bahkan menurut keterangan Kepala Desa Krebet Jumiran, miratun dan keluarganya hanya sebagian kecil dari jumlah populasi tunagrahita di desanya. Total keseluruhan penyandang tunagrahita di Desa Krebet ada 104 orang dari total 841 penduduk.
Jika dirata-ratakan hampir sekitar 90 persen berasal dari keluarga yang berada dibawah garis kemiskinan dengan latar belakang pendidikan yang kurang. Jumiran mengatakan dirinya tak mengetahui secara pasti kapan penduduk Desa Krebet mulai mengalami keterbelakangan mental. Yang jelas sejak kakek-nenek Jumiran masih muda sudah banyak orang yang menderita tunagrahita di kampungnya. Kondisinya pun tak lebih baik dari sekarang.
Tunagrahita merupakan suatu keadaan keterbelakangan mental atau retardasi mental. Orang yang menderita tunagrahita memiliki tingkat kecerdasan yang dibawah rata-rata. Jika dilihat secara teori intelligence quotient (IQ) skala binet-skala weschler mereka berada dibawah 70. Disamping itu mereka juga mengalami kesulitan dalam berperilaku adaptif.
Menurut analisis yang dilakukan balai besar rehabilitasi sosial bina grahita (BBRSBG) Kartini di Temanggung, Jawa Tengah, banyak faktor yang menyebabkan maraknya penderita tunagrahita. Seperti keturunan atau genetis, faktor kelayakan gizi yang rendah, kecelakaan bahkan bisa jadi perpaduan dari berbagai faktor. Faktor genetis yang kerap dijadikan faktor utama merupakan kesalahan yang dilakukan oleh warga setempat yang melakukan perkawinan sedarah. Hal ini juga tak lepas dari minimnya tingkat pendidikan masyarakat dan kondisi demografi daerah yang terpencil sehingga tidak terjadi banyak interaksi dengan penduduk daerah lainnya.
Staff bagian perencanaan BBRSBG kabupaten Temanggung, Supriyono menambahkan bahwa tunagrahita bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan dengan minum obat secara teratur. Melainkan penyandang tunagrahita perlu dibimbing dan dilatih untuk mandiri. Setidaknya mereka bisa makan dan mandi tanpa bantuan orang lain. Persoalannya, pendidikan dan pelatihan kepada penyandang tunagrahita tidaklah sama. Bahkan tidak semua penyandang tunagrahita bisa dididik dan dilatih, misalnya orang idiot.
Pernah pemerintah melalui BBRSBG Kartini merencanakan akan mendidik dan melatih 100 orang penyandang tuna grahita dengan menyebarkan sebanyak 17 orang di Desa Krebet. Orangtua dan sukarelawanlah yang menjadi ujung tombak perjuangan kemanusiaan ini. Mereka akan mendapat pendidikan dari mentor agar nantinya dapat membimbing penyandang tunagrahita. Namun sayang sekali, rencana hanya rencana. Sampai penghujung tahun ini gerakan pemerintah hanya sebatas memberi mereka nasi bungkus 3 kali sehari, itupun jatah pagi-siang diberikan sekaligus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H