Mohon tunggu...
Henny Ratnasari
Henny Ratnasari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya bukan penulis yang baik, tapi saya suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Penglipuran, Sebuah Potret Kehidupan Bali Tempo Dulu

25 April 2011   01:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:26 983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu (24/4/2011), saya menikmati weekend di sebuah desa tradisonal  di kawasan Bali timur. Desa Penglipuran namanya.  Siang itu saya berangkat dari Denpasar dengan sepeda motor dan menempuh satu setengah jam perjalanan.

Sampai di Penglipuran ternyata tak hanya saya yang bertandang. Belasan wisatawan rupanya sudah lebih dahulu jeprat-jepret dengan kameranya. Tentu saya tidak mau ketinggalan. Hal pertama yang menarik pandangan saya adalah desa ini begitu apik dan bersih.

Desa Penglipuran merupakan salah satu desa tradisional Bali. Terletak di Kecamatan Kubu,Kabupaten Bangli. Sejak ditetapkan sebagai salah satu desa wisata, Penglipuran rupanya memiliki tempat tersendiri di hati wisatawan. Penglipuran memiliki sebuah tatanan rumah yang unik, dengan bentuk atap dan pintu pagar yang bentuknya sama satu dengan lainnya. Selain itu yang menarik dari desa ini adalah tidak boleh berkendara (motor) dijalanan sepanjang desa. Sungguh pemandangan yang langka.Aplikasi konsep Tri Hita Karana pun tampak jelas dalam kehidupan masyarakat desa ini. Kesinergisan antara keharmonisan alam dengan manusia seakan menjadi irama yang berlangsung turun temurun demi menjaga kelangsungan hidup mereka.

Selain pintu pagar yang seragam, rumah-rumah di Desa Penglipuran juga mempunyaipenghubung antara rumah satu dengan lainnya, sehingga terjadijalinan kekeluargaan antara keluarga satu dengan lainnya. Pemandangan yang tak kalah menarikyang saya lihat adalah anak-anak desa penglipuran yang mencari capung dengan getah pohon nangka yang dililitkan pada sebuah lidi.

Aktivitas lainnya yang sangat saya nikmati adalah mendengarkan obrolan dua orang nenek-nenek yang duduk di depan pintu rumah mereka, menyapa kakek tua yang duduk merenung, dan satu lagi yang unik adalah seorang pedagang jajanan tradisional keliling yang berteriak ketika menjajakan dagangannya. Jangan kira si penjual menggunakan gerobag atau sepeda, penjual yang satu ini berjulan sambil berjalan kaki. Begitulah sedikit potretkehidupan orangBali yang masihtradisional. Ingin sekali saya mencoba menginap disana tapi sayang, saya belum melihat adanya penginapan diantara rumah-rumah tradisonal yang berjejer rapi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun