Mohon tunggu...
henny puspitarini
henny puspitarini Mohon Tunggu... -

ibu rumah tangga suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Uang Saku Ya, Bukan Uang Jajan

6 Oktober 2014   10:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:13 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Pikiranmu akan menjelma menjadi kata-kata yang terucap. Kata-katamu akan terwujud dalam tindakan. Tindakanmu akan membangun kebiasaanmu. Dan kebiasaanmu akan membentuk karaktermu. Sedangkan karaktermu akan menentukan nasibmu.”

Seorang ibu bercerita bahwa sehari uang jajan anaknya yang masih duduk di bangku TK adalah sebesar 13 ribu sehari. Itu belum bubur ayam pagi hari dan kue yang dibelikan sendiri sama ibunya atau buah yang tersedia di rumah. Faktanya, uang 13 ribu itu selalu habis setiap hari untuk jajan. Sang ibu lantas mengeluh. Bisa “tekor” kalau begitu terus. Sedangkan kalau ada mainan baru, si anak minta uang lagi agar bisa membelinya.

Betapa berharganya uang. Bengong dan stress jika hidup tak ada uang. Anak-anak pun demikian. Apalagi di usianya yang belum layak untuk bekerja dan menghasilkan uang, jika ingin sesuatu bagaimana bisa dia memenuhinya. Lagi-lagi, anak meminta kepada orang tuanya.

Eh, apa hubungannya ya antara peribahasa di atas dengan kasus yang dialami sang ibu dan uang? Yang salah sebenarnya siapa ketika anak tak berhenti meminta uang untuk memenuhi keinginannya? Ibu atau anaknya? Mari kita ulas satu per satu.

Yang ada dalam benak sang ibu, bahwa uang yang diberikannya setiap hari kepada anaknya adalah uang jajan. Maka, yang terucap setiap hari,”Ini Nak, uang jajanmu!” Apa yang terjadi? Uang jajan memang habis untuk jajan. Sudah menjadi perilaku dan kebiasaan anak. Hingga akhirnya sang ibu sadar bahwa pikiran dan ucapannya keliru, uang jajan sudah mendarah daging dalam jiwa anaknya. Dikurangi sedikit saja marah. Makanya wajar juga, ketika ada mainan baru yang ingin dibelinya, sang anak lapor kepada ibunya. Kan tidak ada uang beli mainan, uang jajan sudah habis untuk jajan.

Akibatnya, anak jadi tidak terkontrol masalah uang. Anak juga tidak mengerti bagaimana seharusnya uang yang dia dapatkan bisa digunakan dengan sebaik-baiknya. Sudah saatnya kini, anak-anak pun perlu edukasi perencanaan keuangan. Sederhana saja, tak usah rumit-rumit.

Orang tua harus merombak istilah uang jajan. Lebih baik gunakan kata “uang saku” untuk anak ketika mendapatkan uang dari orang tuanya. Untuk anak TK dan SD berikan uang saku secara harian. Namun, sebelum uang tersebut dipakai anak, ajak anak berdiskusi, hari ini apa yang ingin anak lakukan dengan uang tersebut. Ajari anak memilah mana kebutuhan dan keinginan. Ketika orang tua sudah membuatkan kue kesukaannya, ajak anak berpikir masih perlukah dia menggunakan uang untuk jajan? Adakah keinginan dia untuk membeli buku atau mainan edukatif yang menunjang belajarnya? Jika ya, ajari anak untuk menabung. Mengenai sedekah juga bisa diajarkan orang tua kepada anaknya sejak dini. Ajak anak berkunjung ke temannya yang yatim lalu ajari dia untuk berbagi dengan uang yang dia punya.

Dengan cara seperti itu, selanjutnya anak akan paham bahwa uang yang diberikan orang tuanya tak harus habis seketika itu juga, dalam hari itu. Dalam pikiran anak sudah ada perencanaan keuangan. Uang saku bukanlah uang jajan semata. Uang saku bisa dipakai macam-macam sesuai rencana kebutuhan saja. Dan, ini akan mudah diserap anak manakala orang tua melakukan hal yang serupa dalam kehidupannya.

Rina Dewi Lina, konsultan keuangan yang mumpuni di bidang ini, tak jemu-jemu mengingatkan agar orang tua khususnya ibu dan kaum perempuan pada umumnya terus bisa mengedukasi diri mengenai hal ini. Bagaimanapun urusan uang tidak bisa sembarangan. Perencanaan keuangan yang matang dan aman akan membuat hidup lebih nyaman. Anak-anak sudah bisa diajarkan dan dilatihkan. Uang saku bukan hanya uang jajan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun