[caption id="attachment_335223" align="aligncenter" width="240" caption="Nala, anak tetangga yang ikut homeschooling bersama anakku, sedang memungut sampah"][/caption]
Kelihatan sepele, hanya memungut sampah. Paling yang tampak adalah setelah sampah dipungut, halaman yang kotor jadi bersih. Cukupkah seperti itu?
Memungut sampah yang tercecer baik di halaman, di jalan, atau di mana saja memiliki banyak manfaat edukasi bagi anak. Bahkan pembentukan karakter pada anak bisa terasah dengan kegiatan yang kelihatannya sering diindahkan orang.
Ketika anak memungut sampah sebenarnya otak kirinya sedang bekerja. Berusaha memilah yang mana sampah dan yang bukan sampah. Otomatis, ketika memilah tersebut, proses identifikasi berjalan dalam
benak dan pikirannya. Jika bungkus permen kosong lusuh di jalan, itu sampah. Namun, jika anak menemukan dompet berisi uang di jalan, itu bukan sampah. Itu adalah dompet orang lain yang jatuh secara tidak sengaja. Maka, apa yang akan dilakukan anak? Bungkus permen dipungutnya, lalu dimasukkan ke tempat sampah terdekat. Sedang dompet dia pungut lalu dia berkata,”Bunda, ini dompet siapa?” Sang bunda pun menjelaskan hakikat dompet itu. Bahwa dompet tersebut harus dikembalikan Orang yang memilikinya pasti akan bingung mencarinya karena itu adalah barang berharga.
Anak menjadi mengerti dan paham bagaimana seharusnya bertindak. Nilai moral juga bisa ditanamkan sejak dini. Apa yang tercecer di jalan tidak semuanya sampah. Kegiatan memungut sampah perlahan-lahan akan melatih kemampuan abstrak anak dalam memilah.
“Kenapa sampah harus dibuang ke tempat sampah?” tanya saya kepada 3 anak di depan saya.
“Ya emang tempatnya. Kan kotor!” jawab seorang anak.
“Kalau buangnya di sungai boleh?”
“Ntar banjir, Bunda!” sahut anak saya.
Ehm, paling tidak kegiatan memungut sampah sebagai latihan anak untuk berbuat adil. Maksudnya, ketika anak tahu bahwa membuang sampah itu harus di tempat sampah, berarti anak bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya. Bukankah adil bisa bermakna seperti itu?
Selain 2 manfaat kegiatan memungut sampah di atas, masih ada manfaat lainnya lagi. Halaman yang awalnya kotor berubah menjadi bersih. Diskusi berlanjut, tentu saja.
“Nah, kalau anak-anak sedang marah nggak karuan alias ngamuk-ngamuk berarti itu ada sampahnya lho! Ketika kalian sedang berbohong itu dalam tubuh kalian lagi ada sampah! Kotor!”
“Ha? Harus dipungut dong?” sahut mereka.
“Iya lah. Caranya, kalian segera istighfar. Segera minta maaf sama Allah.”
Homeschooling dengan memanfaatkan kejadian di alam akan lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta Alam. Ulangi setiap saat sebagai kebiasaan anak, maka karakter positif akan tumbuh dalam diri mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H