"Masih menulis di Kompasiana?"
Iya, masih. Ada beberapa teman yang heran. Mungkin karena dianggap cukup lama juga saya bergabung di Kompasiana.
Sebetulnya, sebelum Kompasiana berdiri tahun 2008, saya sudah mengenal cikal bakal (kalau boleh disebut begitu) Kompasiana , yang merupakan salah satu blog terbesar di dunia.
Pada satu masa di tahun 2005, saya berada di negara Paman Sam, mengikuti suami yang ditugaskan di sana. Saat itu saya baru pindah, belum punya anak, begitu juga teman. Kegiatan saya saat suami kerja hanya jalan-jalan di sekitar kompleks perumahan, ngobrol dengan keluarga dan teman yang jauh lewat Skype, dan mencari bacaan menarik di internet.
Mata saya menemukan tulisan menarik di Rubrik Kesehatan Kompasdotcom, yang diasuh oleh Zeverina (alm). Ada beberapa artikel yang ditulis oleh orang Indonesia dari berbagai negara, isinya beragam, pengalaman, budaya, culture shock, dan banyak lagi.
Hari-hari saya di negeri baru saat itu menjadi lebih segar, bisa membaca kisah para perantau dari berbagai penjuru dunia. Awalnya, saya hanya menjadi pembaca, sesekali menyapa dan meninggalkan komentar. Lama-kelamaan saya mencoba mengirim tulisan ke redaksi.
Senang sekali jika tulisan yang dikirim lolos dan ditayangkan.Â
Imbalannya? Tidak ada imbalan berupa uang. Akan tetapi, ada imbalan lain yang nilainya lebih dari uang. Saya banyak mengenal teman baru, bahkan sebagian masih saling berhubungan hingga sekarang. Beberapa dari mereka pernah bertemu langsung, tetapi banyak yang belum. Salah satunya adalah Kompasianer Sirpa di Kalifornia. "Hai, Pak Sirpa!"
Kisah dipersingkat. Rubrik Kesehatan di Kompas akhirnya menjadi Kolom Kita (KoKi). Lalu, entah apa yang terjadi (saya tidak mengikuti), Koki berpisah dengan Kompas dan berdiri sendiri. Saya terus mengikuti dan menulis di Koki.
Tahun 2008, Kompasiana berdiri. Saya tidak mendaftar saat itu. Alasannya, tiba-tiba saya kehilangan gairah untuk menulis selama beberapa tahun. Itu terjadi setelah berpulangnya ibu dan ayah saya pada 2008 dan 2009.