"Good morning. I think, we've met before."Â
Pria berpakaian formal itu sedikit terkejut menyambut saya dan mengulurkan tangannya.
Salam yang sama saya balas dan mengatakan dia pasti salah orang. Lalu pria itu menyebutkan namanya, Â kemudian mempersilakan saya duduk di seberang mejanya.Â
Itu percakapan beberapa tahun silam. Pria Qatari ini yang akan melakukan wawancara kerja. Saya saat itu melamar untuk salah satu posisi yang ditawarkan maskapai penerbangan dari negerinya.Â
Di ruangan itu hanya ada saya dan pria pewawancara itu. Ruangan yang berada di salah satu gedung perkantoran di pusat bisnis Jakarta itu tidak seperti yang saya bayangkan. Sebelum membuka pintu, saya pikir, suasananya cukup menegangkan. Kesan itu ternyata tidak tergambar sama sekali. Â Â
Pria yang mewawancarai saya hari itu benar-benar menciptakan suasana interview yang tidak menakutkan dan membuat gugup. Mungkin itu salah satu trik pewawancara untuk mengetahui dengan baik calon karyawan mereka, atau mungkin saya yang cukup baik menyembunyikan kegugupan.Â
Waktu itu memang saya melamar untuk satu posisi yang ditawarkan dan akan ditempatkan di kantor maskapai yang berada di Doha. Saya pikir, selagi saya masih single dan tidak punya tanggungan, cukup gampang untuk mengambil kesempatan bekerja dan pindah ke luar Indonesia.Â
Saya sudah cukup dewasa dan orangtua pasti merestui langkah baik apa pun yang akan saya lakukan. Kedua orangtua saya pernah berpesan, kami boleh meraih kesempatan baik sejauh mana pun tempat itu.
Tentu akan banyak hal yang akan saya hadapi sekiranya berhasil mendapatkan tempat yang ditawarkan dan pindah ke Doha. Tinggal di tempat baru, beradaptasi dengan warga, lingkungan, dan budaya bangsa yang sangat berbeda adalah tantangan baru dan tentu memerlukan waktu untuk menyesuaikan ritme keseharian di sana.
Qatar dan Doha