"Nein. Ich möchte nicht fotografiert werden!"
Liza berujar dan menyingkir ke meja sebelah. Wajahnya terlihat agak kesal memandang Ida dan berkata dengan tegas bahwa dia tidak mau difoto. (keduanya nama samaran)
Setiap bertemu, entah itu di rumah, cafe, atau restoran, Ida selalu memotret pertemuan itu. Padahal pertemuan kedua wanita itu dan teman-temannya bisa dikatakan cukup sering. Sebetulnya bukan Liza tidak ingin difoto, hampir selalu mereka memotret momen berkumpul itu.
Hal yang tidak mengenakkan belakangan diketahui saat Ida menceritakan bahwa suaminya selalu ingin "bukti" dengan siapa saja Ida pergi. Foto adalah bukti yang jelas sulit disanggah, kecuali orang itu mahir mengeditnya.
Menurut Ida, suaminya selalu memeriksa ponsel, aplikasi perpesanan, sosial media, dan email pribadi milik Ida. Mengirimkan foto bersama teman-temannya saat berkumpul membuat suaminya tidak banyak bertanya. Lagi pula, di lain waktu akan gampang baginya untuk minta izin suaminya jika akan pergi dengan teman-temannya.
Bisa dimengerti kekesalan Liza. Liza juga punya hak untuk menolak dan tidak ingin berada di dalam foto bersama Ida. Ternyata, selama ini suami Ida secara tidak langsung mengoleksi foto-foto Ida saat bersama teman-temannya. Â
Hubungan, kepercayaan, dan pengendalian
Teman-teman Ida mengenal suami Ida, seorang pria yang cenderung pendiam, tetapi sangat menyenangkan saat diajak ngobrol apa saja. Siapa sangka kalau laki-laki ini seorang yang sangat pencemburu, bahkan agak keterlaluan.
Mungkin saja rasa cemburu yang membuat suami Ida berlaku seperti itu. Bisa saja Ida menganggap itu adalah bukti begitu cinta suaminya dan takut kehilangan. Hanya saja, melibatkan teman-temannya (dengan mengirimkan foto sebagai bukti) bukan perbuatan yang bisa dibenarkan.Â
Secara umum, tindakan mengontrol segala yang dilakukan pasangan dan memeriksa pesan pribadi bukan bukti bahwa seseorang sangat mencintai pasangannya. Hal seperti ini lebih mengarah pada ketidakpercayaan dan pengendalian pada pasangan.Â