Sembari menunggu suami mengurus tiket kami melalui kantornya, saya segera berkemas. Menyiapkan keperluan putri saya yang masih bayi, juga barang-barang penting yang saya perlukan saat di tanah air.
Ada masalah lain.
Putri saya belum memiliki paspor. Setelah menelepon Rathaus (kantor pemerintahan/ balaikota), paspor "emergency" bisa kami dapatkan. Paspor ekspres untuk anak kami akan dibuat dan berlaku untuk perjalanan kali ini saja. Setelah kembali dari Indonesia paspor akan diganti dengan paspor biasa.Â
Kurang dari setengah jam di Rathaus, paspor anak saya selesai. Betapa leganya. Bersyukur sekali, urusan seperti ini ditangani oleh mereka tanpa banyak birokrasi.
Tanpa membuang waktu, kami menuju bandara Zurich. Tempat tinggal kami relatif dekat dengan perbatasan Jerman - Swiss. Jarak rumah saya ke bandara kurang dari 200 km, sekitar 2 jam perjalanan kami tiba di sana.Â
Penerbangan dari Zurich ini adalah keberangkatan tercepat yang bisa kami kejar hari itu, malam hari waktu setempat. Kami, tiga bersaudara berangkat bersama-sama supaya bisa saling menguatkan.
Suami kami tidak bisa ikut serta. Mereka akan menyusul karena tidak bisa mendadak mengambil cuti beberapa hari untuk terbang ke Indonesia. Saya pikir, lebih baik seperti ini karena nanti kami sangat sibuk, beberapa hari pertama. Belum lagi mengendalikan kesedihan yang terlalu dalam.Â
Lebih kurang 16 jam waktu terbang yang harus kami tempuh, ditambah waktu tunggu penerbangan sambungan. Dari Zurich menuju Singapura, kemudian dilanjutkan ke Medan. Penerbangan kami lancar tanpa ada gangguan keterlambatan, meskipun perjalanan ini terasa sangat lama.
Kami tiba malam hari di Medan (hari berikutnya). Hanya 10 menit naik mobil dari bandara (bandara lama, Polonia) menuju rumah orang tua kami.Â
Tahlilan baru saja usai, masih banyak keluarga, kerabat, tetangga, dan teman-teman kami yang tinggal. Mereka menanti kehadiran kami.
Tidak terhingga terima kasih saya untuk mereka yang telah mendoakan ibu dan memberi bantuan tenaga, morel, dan material pada keluarga kami.