"Besok ya datang lagi Mbak Hen, biar suaminya lebih sayang."
Seorang wanita cantik yang bekerja di salah satu salon kecantikan berkata saat saya pamitan.
"Bukan lebih sayang, mungkin suami saya bisa marah," begitu tadi saya berkata sambil tertawa.
Siang itu saya hanya mampir sebentar menemani Raisa, teman yang saya kenal di dunia penerbangan dulu, tetapi kami tidak pernah bekerja di tempat yang sama. Setiap saya liburan ke Jakarta kami selalu bertemu. Raisa memilih untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya setelah menikah, kemudian merintis usaha bidang kecantikan ini.
Wanita tadi menawarkan saya untuk memutihkan kulit sambil mempromosikan krim produk pemutihnya. Saya menyambutnya dengan tawa dan mengatakan saya cukup bahagia dengan kulit coklat saya.
Baca Juga:Â Bule Itu Manusia Biasa, Cuma Beda Penampakan
Dengan kondisi kulit coklat seperti ini saya tidak pernah merasa minder sama sekali. Pernah juga saat remaja dulu saya memakai body lotion yang bisa mencerahkan kulit dan menjadikan kulit berwarna kuning langsat. Iya, nggak mungkin kulit coklat saya jadi putih. Kulit terlihat cerah dan tidak kusam tentu dambaan (hampir) semua orang.
Dulu dan sepertinya sampai sekarang, warna kulit putih itulah lambang kecantikan bagi perempuan di Indonesia dan negara Asia umumnya.
Cantik itu putih. Sementara kulit gelap, yang disebut hitam sering disandingkan dengan kata manis. Tidak dikenal di Indonesia hitam cantik, yang ada hitam manis. Entah sebagai pujian untuk menghibur atau bagaimana.
Tren kulit berwarna
Sebenarnya sejak zaman dahulu masyarakat menganggap warna kulit putih adalah orang yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dari masyarakat pada umumnya. Kulit gelap dan kecoklatan tidak disukai, karena sama dengan masyarakat biasa di pedesaan, nelayan, petani dan budak.
Kaum bangsawan dan golongan masyarakat  dengan status sosial yang lebih tinggi jika keluar rumah selalu melindungi dirinya dengan menggunakan payung, topi, sarung tangan, rok dan celana panjang.Â