Di kota Medan etnis masyarakatnya sangat beragam, salah satunya warga peranakan Tionghoa. Kalau kata seorang teman saya yang dari Semarang, di Medan itu masyarakatnya mirip di Semarang juga. Saya tidak tahu karena belum pernah ke Semarang.
Ayah saya dulu punya banyak teman orang peranakan, mereka sering saling mengunjungi. Jika Idul Fitri mereka datang ke rumah, gantian saat Imlek kami sekeluarga yang mengunjungi. Tak ketinggalan kami selalu mendapat kiriman Kue Bakul.
Kue Bakul, begitu kami di Medan menyebut Kue Keranjang. Dodol manis khas Imlek, yang terbuat dari tepung ketan dan gula merah.
Ketika kami pindah sementara ke Beijing dan bisa mengalami perayaan Imlek di negeri asalnya adalah hal yang sangat saya tunggu-tunggu. Kapan lagi menyaksikan budaya menyambut Tahun Baru Lunar di negeri itu sendiri.
Suasana menyambut Imlek ini betul-betul meriah, miriplah dengan suasana menyambut Idul Fitri di Indonesia. Pasar tradisional dan mall juga ramai sekali pengunjungnya. Ini juga adalah masanya orang-orang pulang ke kampung halaman mereka, berkumpul dengan keluarga. Persis budaya mudik di Indonesia.
Kembali ke Kue Bakul atau Kue Keranjang atau sebutannya di sini Nian Gao.
Saya masih mencari keberadaannya. Nian Gao ini bagi saya identik dengan Imlek dan mengingatkan kenangan indah masa kecil dulu.
Maka ketika ada bazar di samping gedung apartemen tempat kami tinggal, saya pun mengunjunginya. Ramai sekali orang berbelanja, dan saya perhatikan banyak yang menenteng kotak merah berpita. Saya perhatikan satu persatu lapak yang ada di sana, tak ada satupun yang menjual Kue Keranjang. Ingin sekali bertanya, tapi saya tidak bisa bahasa mereka. Serasa buta huruf.
Tidak juga terjawab keberadaan kue ini. Bertanyalah saya kepada seorang teman chinese yang tinggal di gedung yang sama. Kami sering pergi bersama, karena memiliki anak yang seusia. Saya katakan apa dia tau di mana bisa mencicipi Nian Gao.
"Oh kamu mau coba nian gao?", begitu ia bertanya.
Saya mengiyakan.