Tulisan ini terinspirasi dari artikel Termakan Buah Larangan milik Bapak Tjiptadinata Effendi. Dikisahkan, ada seorang suami yang tidak lagi bekerja sejak mendapat PHK imbas Covid-19. Istrinya melakukan apa saja agar ada penghasilan. Salah satunya dengan usaha catering. Suaminya, Yudi, sama sekali tidak meringankan pekerjaan istrinya malah marah ketika diminta bantuan.
Apa yang dilakukan oleh Yudi? Setiap hari Yudi menghabiskan waktunya di akun-akun media sosial miliknya. Ia sibuk sebagai Admin di beberapa grup. Ia sibuk memberi dan membalas komentar. Tentulah juga aktivitas lainnya di situ. Rupanya, dia benar-benar aktivis media sosial dan tanpa sadar telah menjadi tahanan media sosial.
Bagaikan seorang tahanan kota, tidak dipenjara tetapi harus wajib lapor ke kantor polisi. Demikian pula, tidak sedikit orang yang tanpa sadar telah menjadi tahanan media sosial. Tinggal di dunia nyata, tetapi seakan wajib lapor ke dunia maya setiap hari.
Semua dilaporkan: lagi di mana, sedang melakukan apa, dengan siapa, makan apa, beli apa, dan apa saja bahkan hal-hal tidak terpikirkan bisa dibagikan di media sosial.Â
Komentar sana komentar sini. Sampai-sampai telah umum disebutkan netizen +62 adalah orang-orang yang paling pusing karena semua aspek kehidupan manusia mulai dari urusan rumah tangga orang sampai urusan bangsa dan negara harus diurus oleh mereka.Â
Berbeda hal dengan mereka yang menggunakan media sosial sebagai media bisnis. Atau, menggunakan media sosial untuk membagikan materi-materi yang menjadi bagian dari pekerjaannya atau membagi ilmu sesuai dengan profesi yang ditekuninya. Singkatnya, hal-hal yang memiliki manfaat. Namun kenyataannya, tidak sedikit hanya menambah timbunan sampah online.Â
Akhirnya, memang tidak sepenuhnya salah bila orang berkata bahwa bila terus-menerus di media sosial tanpa manfaat, itu seperti orang yang tidak ada kerjaan.
Faktanya, Yudi. Karena tidak ada pekerjaan, Yudi "kerja sosial" di akun-akun media sosialnya. Walaupun sebenarnya ada kerjaan, yakni membantu pekerjaan istrinya, tetapi Yudi berlaku seperti orang yang tidak ada kerjaan.
Akhirnya, istrinya mengeluh. Curhat kepada opanya tentang perilaku suaminya. Sejak bangun pagi istrinya sudah mengurus pekerjaan rumah tangga pun harus mengurus usaha mereka. Sang suami hanya mengurus media sosial.
Itu namanya: ter-la-lu! Memang, di mana ada kelewatan di situ ada keterlaluan.
Pandemi Covid-19 yang menganjurkan di rumah saja tidak sepenuhnya hendak mengalihkan kehidupan manusia dari dunia nyata ke dunia maya. Pandemi yang "menyengsarakan" dan "merumahkan" ini justru hendak menyadarkan kita bahwa dunia nyata kita yang pertama-tama adalah keluarga.