Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Saya Tidak Lagi Punya Messenger, Kawan

9 November 2019   20:47 Diperbarui: 10 November 2019   06:14 1341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Katanya, sudah sombong, inbox tidak dibalas.

Kira-kira begitu cakap saudara saya via Whatsapp. Katanya, seseorang menyampaikan hal itu kepadanya karena pesannya via inbox Facebook tidak dibalas oleh saya.

Saya tidak lagi punya Messenger. Dulu inbox FB dapat langsung dibuka pada aplikasi FB, tetapi pihak FB memisahkan inbox itu agar mau tidak mau pengguna FB yang aktif menggunakan inbox akan mengunduh aplikasi percakapan Messenger.

Awalnya saya punya Messenger itu. Saya juga punya Wechat, Line, Hangout, juga tentu BBM zaman Blackberry. Sekarang saya hanya mengunduh satu aplikasi percakapan daring, yakni Whatsapp.

Hanya WA saja. Tidak ada yang lain. Tak ada Messenger, karena saya tidak lagi menjadikan FB bagian dari daily life saya.

Dulu saya sangat aktif di FB. Saya juga punya halaman FB sendiri. Saya dimasukkan ke aneka grup. Permintaan pertemanan menumpuk. Tidak bisa saya konfirmasi karena jumlah pertemanan di akun saya telah mencapai 5000 akun.

Foto? Jangan tanya. Saya punya album foto lengkap yang saya buat berkategori: Me & Family, Me & Friends, About Me (segala aktivitas saya bagikan), dan lainnya. Swafoto (selfie)? Lebih-lebih lagi.

Saya punya album khusus untuk aneka swafoto. Kalau Anda melihat video ini, foto-foto pada video itu adalah dari FB itu. Dari video yang saya buat enam tahun lalu itu, Anda bisa beroleh gambaran betapa eksisnya saya di FB dengan foto selfie yang aneka macamnya itu.

Akan tetapi, segala sesuatu ada masanya. Suatu waktu saya tiba pada satu titik kesadaran bahwa media sosial boleh tetap ada di hidup saya tetapi bukan lagi bagian dari hidup. Maksudnya?

Saya menjelaskan dengan contoh ini: "X" adalah mantan kekasih saya. Memang dulu dia pernah menjadi bagian dari hidup saya, tetapi setelah kami berpisah, dia bukan lagi bagian dari hidup saya.

X boleh tetap ada di hidup saya. Kami tetap berteman. Dia boleh menelepon saya. Dia boleh mengirim pesan kepada saya. Akan tetapi, dia bukan lagi bagian dari hidup saya. 

Dia tidak punya hak apa pun lagi terhadap saya dan saya tidak punya "kewajiban" apa pun lagi kepadanya.

Setiap orang punya pemikirannya sendiri terhadap apa saja yang hendak dijadikan bagian di hidupnya dengan kesadaran bahwa pada saat kita menjadikan sesuatu bagian dari hidup kita, maka ada konsekuensi di situ, yakni ada yang diambil dari diri kita pula untuk hal itu, paling minimal adalah perhatian. 

Contoh: saya mengambil seekor kucing di jalanan untuk saya pelihara, maka itu berarti saya menjadikan kucing itu bagian dari hidup saya.

Ketika saya menjadikan kucing itu bagian dari hidup saya, maka ada yang diambil dari hidup saya untuk dia, yakni perhatian. Saya harus memberi makan dia setiap hari dan lainnya yang berhubungan dengan dia.

Demikian pula dengan media sosial. Menjadikan media sosial bagian dari hidup membuat diri seolah wajib hadir di media sosial. Membuat status, membalas komentar, membaca aneka postingan, memberi komentar, membalas percakapan, dan lainnya.

Makin kuat arti media sosial itu bagi kita, makin besar pula perhatian diambil dari kita untuknya. Waktu pun tersita di situ.

Lambat laun tanpa sadar banyak orang telah lebih berdomisili di media sosial daripada di kehidupan nyata. 

Perhatiannya terhadap media sosial menjadi lebih kuat daripada terhadap lingkungan hidupnya yang bukan maya tetapi nyata. Badan di dunia nyata, pikiran di alam maya.

Bahkan, tidak sedikit orang yang menjadikan media sosial tempat curhatan persoalan pribadi. Dulu, rasanya malu sekali masalah pribadi diketahui orang banyak. Namun sekarang, apa yang dianggap aib malah dipublikasikan.

Masalah dengan kekasih, saudara, teman, rumah tangga, dan lainnya diumbar di media sosial bahkan media sosial juga menjadi tempat "berkelahi". 

Story berjawab story (IG). Cuitan bersahut cuitan (Twitter). Status berbalas status (FB). Konten beradu konten (Youtube). Kolom komentar menjadi ring perdebatan tanpa wasit.

Tak hanya itu, media sosial juga dijadikan tempat berdoa. Tidak lagi masuk ke kamar dan berdoa, tetapi masuk ke FB dan berdoa di situ.

Media sosial perlahan-lahan menarik manusia dari dunia nyata di mana di situlah segala persoalan hidup sedang terjadi, di situlah perhatian itu dibutuhkan, dan di situlah kehidupan yang sesungguhnya sedang berlangsung.

Kurang lebih sejak lima tahun yang lalu media sosial tidak lagi menjadi part of my daily life seperti sebelumnya saat saya menjadikan FB bagian dari hidup saya di mana tiada hari tanpa FB.

Media sosial bukan lagi menjadi tempat tujuan, yakni selesai pelayanan menuju media sosial, selesai goreng ikan menuju media sosial, mau tidur menuju media sosial, bangun tidur menuju media sosial, mau makan menuju media sosial, dan sebagainya. Tidak lagi.

Saya bahkan sudah menutup akun FB saya yang berisi segala publikasi diri itu. Hingga ketika saya menulis di Kompasiana saya memerlukan FB untuk membagikan tulisan saya di sini ke sana. Isi tulisan itu yang hendak saya publikasikan, bukan diri saya.

Saya ingat, ada satu akun FB saya yang lain yang saya buat di tahun 2011 untuk menjadikannya akun khusus halaman FB agar tidak bercampur dengan akun pribadi. Akun itu belum saya tutup. Hanya dinonaktifkan. Kata sandinya lupa. Untung saja saya masih ingat poselnya [email].

Saya mengaktifkan kembali FB itu dan membagikan tulisan saya di sini ke sana. Sesekali saya berbagi postingan lain. Sekadar saja. Sementara di akun Youtube saya menyimpan beberapa video Smule saya di situ.

Itu jadi pelipur rindu bagi sanak keluarga saya karena saya jauh dari mereka dan kiranya dapat menjadi kenangan akan saya bila kelak saya tidak ada lagi di dunia ini.

Kemarin saya membuka FB dari laptop, saya menyempatkan memeriksa inbox yang masuk. Beberapa di antara mereka saya berikan nomor WA saya dan menyampaikan jika hendak mengirim pesan ke WA saja sebab bila via inbox saya tidak dapat selalu membukanya. 

Karena tak punya Messenger, inbox hanya dapat saya lihat bila membuka FB dari laptop atau menggunakan browser. Sementara, artikel di sini bisa langsung dibagikan ke FB. 

Saya juga tidak membawa laptop ke mana-mana. Pekerjaan saya malah harus tidak memegang gawai sama sekali.

Media sosial tetap ada di hidup saya, tetapi bukan lagi menjadi bagian dari hidup saya sehingga mengharuskan saya untuk setiap hari ada di situ. Media sosial hanya bagai halte di rute perjalanan yang tidak rutin.

Jika harus memilih berada di media sosial atau di Kompasiana, saya memilih di Kompasiana. Membalas komentar, melakukan kunjungan balasan ke tulisan mereka yang telah votcom di tulisan saya.

Itulah cara saya mengucapkan terima kasih dengan hal yang berarti bagi mereka pula. Itu sudah saya lakukan dari awal menulis di sini.

Menghabiskan waktu saja? Tidak habis dengan sia-sia. Tulisan mereka memberi wawasan kepada saya. Hal-hal yang saya tidak tahu menjadi tahu di segala bidang sesuai spesifikasi artikel mereka masing-masing.

Bayangkan, saya tidak tahu soal ekonomi akhirnya mendapat gambaran tentang ekonomi dari banyak tulisan K'ners di sini. Tentang seni, budaya, tempat wisata, tentang kopi, tentang cengkeh, pemerintahan, politik, dan lainnya. Semuanya ada disini.

Tidak perlu saya jadi ahli karena itu, tetapi saya menjadi tidak benar-benar buta tentang itu karena tulisan mereka. Terima kasih "kawans".

Sekali waktu K'ners Indria Salim menulis tentang petir. Saya berkomentar di tulisan itu, bahwa saya ingat kisah Mbak Indria nyaris tersambar petir. Mbak Indria membalas komentar saya dengan terkejut karena kisah itu ditulisnya sudah sangat lama, yakni 5 November 2013.

Saya membaca itu setahun lalu. Mengapa saya masih ingat? Karena saya tidak asal votcom, tetapi saya benar-benar membaca.

Bahkan, tulisan-tulisan Islami pun saya baca. Salah satu tulisan yang mengandung nasihat bersifat Islami yang sesekali ditopang dengan ayat Alquran yang suka sekali saya baca adalah tulisan Pak Ustaz H Edy Supriatna Syafei. 

Andai saja para pemuka agama menyampaikan ajaran agama seperti cara beliau, saya kira maksud dari suatu dakwah itu terpenuhi, yakni menyampaikan isi kitab suci untuk diketahui dan dilakukan bagi penganutnya bukan untuk menabur kebencian dan permusuhan.

Kompasiana bagi saya adalah media untuk belajar banyak hal. Kompasiana adalah tempat yang tepat untuk waktu yang tak berguna menjadi bermanfaat.

Lalu, bagaimana dengan inbox FB itu? Saya tidak lagi punya Messenger, Kawan. Maafkan saya.

Salam. HEP.-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun