Kata 'kafir' saat ini sedang memanas lagi. Pasalnya, Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdatul Ulama (NU) di Banjar, Jawa Barat, Jumat lalu (1/3) menetapkan lima rekomendasi, yang salah satunya adalah tidak menyebut "kafir" kepada non-Muslim.
Rekomendasi itu menimbulkan kontroversi di antara mereka. Tak ayal, hari-hari ini kita mendengar atau membaca pernyataan-pernyataan mereka yang sangat sensitif terkait penolakan atas rekomendasi itu.
Satu contoh saja, yakni, cuitan Wasekjen Dewan Pimpinan MUI, Tengku Zulkarnaen:
Dulu saya tidak mendengar kata 'kafir' disebutkan secara belakangan ini. Tampaknya itu dimulai sejak demonstrasi kasus BTP tahun 2017. Kata itu diteriakkan di jalan dan sejak itu "kafir" menjadi ejekan.
Bagaikan saya ini buta. Apakah karena saya buta, maka Tuhan mengajari manusia: "Hai umat-Ku, teriaki dia, "buta!"; "Ejek dia, "buta!"; "Hina dia, "buta!"? Apakah karena seseorang memang benar-benar buta, maka itu membenarkan pengejekan atas kebutaannya?
Namun, bagaimana pun sakitnya, kita harus bisa merelakan hati. Perbedaan justru mengajarkan apa itu menghargai.Â
Menghargai, bahwa menurut syariat Islam, manusia kafir adalah seorang yang mengingkari Allah sebagai satu-satunya yang berhak disembah dan mengingkari Nabi Muhammad sebagai utusan Allah. Begitu yang saya baca di Wikipedia.
Dan, itu harus dihargai oleh siapa pun manusia Kristen di dunia ini, sebab itu adalah ajaran yang diyakini oleh umat Islam. Itu adalah keyakinan berdasar pada Kitab Suci mereka. Dan, Tuhan Yesus berkata:
"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." (Matius 7:12)
Jikalau kita mau dihargai, maka kita harus menghargai. Bahkan, sekalipun orang tidak menghargai, kita tetap harus menghargai.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!