[caption id="attachment_187266" align="aligncenter" width="360" caption="ilustrasi/admin(KOMPAS.com/Riza Fathoni)"][/caption] "Kita mau baksos ke Panti Asuhan, mau ikut?" "Oyah? Dimana?" "Di daerah Tangerang sana, Panti Asuhan anak cacat. Ikut aja yah bantuin?" "Boleh" Itulah sepenggal percakapanku dengan Hendi. Baksos ke Panti Asuhan anak cacat. Well, aku membayangkan "cacat" itu sebagai adanya kekurangan fisik pada diri seseorang. Dorongan untuk membantu kegiatan tersebut memang tinggi. Aku pikir, ikut saja untuk membantu, ga ada salahnya kan? Sebelum berangkat kami memasukan barang-barang yang akan dibagikan ke mobil. Ada bingkisan berisi snack dan alat tulis. Dibungkus dengan rapi dan cantik. Lalu banyak sekali makanan dan keperluan-keperluan lain yang nantinya akan diberikan untuk sumbangan. Perjalanannya tidak terlalu jauh, sekitar satu jam. Tempatnya masuk ke dalam jalanan yang lebih kecil. Bus kami sampai disana. Ternyata memang bukan sepenuhnya panti asuhan, namanya adalah sekolah dan pusat rehabilitasi anak cacat Yayasan Bhakti Luhur. Ternyata yang disana adalah anak-anak yang memiliki masalah cacat mental. Kami menurunkan paket yang akan diberikan. Lalu berkumpul bersama di Aula sekolah. Digedung ini ada lift nya. Kecil namun tetap bisa dipakai. Aulanya sederhana, tidak ada AC hanya ada kipas angin. Jadi jendela pun akhirnya kami buka supaya udara segar bisa masuk ke dalam ruangan. Mereka sudah menyiapkan bangku-bangku yang disusun rapi dan mempersilahkan kami untuk duduk bersama. Yayasan ini di kepalai oleh seorang Suster. Ada beberapa pengawas dan pengajar yang membantu merawat beberapa anak disini. Nampaknya satu orang memegang beberapa anak. Disini ada beberapa bagian. Ada anak-anak yang memang cacat mental saja, ada yang cacat ganda yaitu mental dan fisik serta ada juga yang mempunyai IQ sangat rendah sehingga tidak bisa berbuat apa-apa. Susternya bilang kalau 75% dari mereka tidak punya orang tua dan keluarga. Hanya 25% yang masih mempunyai orang tua namun berasal dari kalangan tidak mampu. Jadi untuk sekolah dan perawatan mereka tidak sanggup memenuhi biayanya, akhirnya Yayasan inilah yang membantu mereka. Kami memulai acara disana dengan sama-sama bernyanyi. Ada dua anak yang sangat menarik perhatian saya. Satu anak ini yang saya tidak tahu namanya, menciumi pipi saya sampai dua kali. Padahal jarak tempat duduk kami cukup jauh. Ia lari lalu menarik tangan saya supaya saya menunduk, lalu menciumi pipi kiri dan kanan saya dan kembali ke tempat duduknya. Tak berselang lama, ia kembali melakukan hal tersebut. Teman-teman saya tersenyum melihat kelakuannya yang lucu. Ada lagi satu anak yang duduk di belakang saya. Ia mencolek saya agar saya mau pindah tempat duduk bergeser ke dekat tempat duduknya. Tau apa yang dia lakukan? Saya dipeluk dan dirangkul sepanjang acara kami disana. Hahaha.. Saya masih suka tersenyum sendiri kalau mengingat hal tersebut. Bahkan saya kagum dengan pengurus disana, betapa mereka mau mengabdikan diri mereka untuk membantu anak-anak seperti ini. Maaf, tapi yang saya tahu, mengurus anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti ini tidaklah mudah. Banyak menguras energi karena untuk mengajarkan mereka dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan tinggi. Belum lagi yang memiliki IQ rendah mengalami kesulitan untuk memahami apa yang diajarkan. Untuk berdiri saja mereka harus dibantu. Karena mereka tidak mengerti jika kita meminta mereka secara lisan. Saya menulis ini bukan untuk menghina atau merendahkan mereka. Namun kagum dengan semangat mereka walaupun sebagian besar dari mereka tidak mempunyai orang tua, dan salut untuk suster beserta pengajar disana. Sungguh pengabdian yang luar biasa. Susternya bercerita bahwa disini setiap anak diajarkan pelajaran yang agak berbeda dengan sekolah pada umumnya. Setiap hari mereka harus belajar membaca, belajar makan sendiri, belajar mengerjakan segala sesuatu sendiri sehingga nantinya mereka bisa hidup mandiri. Bahkan yayasan menyediakan tempat untuk budidaya jamur dan tempe yang hasilnya nanti akan dijual kembali. Saya pun teringat Susternya berkata, kita memang dilahirkan secara berbeda, namun di mata Tuhan kita semua sama. Entah kenapa, rasanya mendengar suster berkata seperti itu saya menjadi terharu. Iya, terharu sekali. Karena hal itulah yang tidak disadari oleh orang tua yang membuang anak-anaknya karena cacat. Mereka hanya berbeda secara fisik, namun Tuhan kan tidak melihat perbedaan itu. Semua diciptakan-Nya sempurna. Kenapa orang tua harus membuang mereka? Apakah karena malu? Malu punya anak cacat dan malu nanti dicibir orang karena punya anak cacat?  Kalau sudah begini, siapa yang salah? Mereka ngga minta dilahirkan seperti itu kok... Saya pulang dengan membawa sejuta pertanyaan...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H