Mohon tunggu...
Thomas HenkB
Thomas HenkB Mohon Tunggu... Insinyur - Insan Sumber Daya Air. Any question about water resource?

Lets Think Simple.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Hilangnya Air di Bumi ke Ruang Angkasa

5 April 2024   14:46 Diperbarui: 17 April 2024   10:31 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: freepik

Proses Terbentuknya Air Di Bumi

Seringkali pengertian tentang air merujuk ke siklus hidrologi, dimana air yang berada di sungai berasal dari hujan. Namun kita juga perlu memahami bagaimana proses terbentuknya air pertama kali di bumi. Apakah air sudah ada di bumi dari sejak bumi terbentuk, apakah volumenya berkurang atau bertambah, seberapa besar perubahan volume air di bumi.

Pada awal terbentuknya, bumi dikatakan memiliki sedikit atau bahkan tanpa air. Bumi berwujud seperti magma cair yang sangat panas yang seiring berjalannya waktu semakin mendingin dan terbentuklah lapisan-lapisan pada bumi dengan magma di pusatnya dan lapisan terluarnya berbentuk padat namun memiliki massa jenis yang lebih kecil (lebih ringan) daripada material lelehan di pusat bumi. Dikatakan bahwa setelah itu terjadi tumbukan dengan protoplanet dan banyak asteroid yang membawa bahan dasar pembentuk air. Petunjuk kimia dari air di lautan bumi menunjukkan bahwa sebagian besar air berasal dari asteroid. Diperkirakan sekitar 30% dari air yang dibawa oleh asteroid-asteroid tersebut hingga kini masih berbentuk batuan padat. Sementara atmosfer bumi pada awalnya sebagian besar terdiri dari Hidrogen dan Helium. Demikian yang disampaikan dari National Geographic dan NASA.

Kemudian lapisan bumi bagian luar yang disebut kerak bumi yang berupa lempeng-lempeng tak beraturan yang disebut lempeng tektonik, bergerak secara terus-menerus seperti dalam Teori Alfred Wegener. Tumbukan antar lempeng tektonik ini menimbulkan celah keluarnya magma pada ledakan gunung berapi menghasilkan gas-gas yang sebagian besar berupa uap air, mengingat unsur utama pembentuk batuan adalah hidrogen dan oksigen yang merupakan material penyusun air. Pelepasan uap air dari batuan juga terjadi pada batuan tertekan yang terekspos pada atmosfer, sebagai upaya mencapai keseimbangan fisika dan kimia dari batuan tersebut dalam proses yang disebut pelapukan. Hal ini menyebabkan perubahan volume atau jumlah air dalam bentuk cairan pada bumi dari waktu ke waktu, disamping dampak dari melelehnya es yang diperkirakan saat ini mencapai laju 421 miliar ton per tahun.   

sumber gambar: freepik
sumber gambar: freepik

Hilangnya Air Dari Bumi

Lalu, apakah air pada planet bumi dapat hilang? Air dalam wujud uap air dapat hilang dari atmosfer suatu planet seiring dengan peningkatan suhu dari planet tersebut. Uap air hilang dari atmosfer saat terkena Solar Wind. Solar Wind merupakan partikel plasma dari permukaan luar matahari yang bergerak dengan kecepatan hingga satu juta mil per jam di tata surya. Planet Venus yang dulunya diperkirakan memiliki lautan, yang kemudian hilang akibat meningkatnya suhu planet yang menyebabkan air menguap dan terkena Solar Wind serta tidak memiliki medan magnet global untuk menahan atau memantulkan Solar Wind tersebut. 

Planet Mars mengalami hal serupa, dimana pada milyaran tahun yang lalu planet tersebut kehilangan medan magnetik globalnya sehingga atmosfernya hilang dengan laju 400 Kg per jam. Ilmuwan memperkirakan bahwa Mars telah kehilangan sekitar 87% dari airnya semenjak milyaran tahun yang lalu. Meskipun demikian, solar wind berperan besar dalam menghalangi masuknya partikel dari luar tata surya. Medan magnetik global di bumi cukup kuat sehingga dapat menolak pengaruh dari Solar Wind. Namun, uap air pada bagian luar atmosfer bumi dapat hilang ke luar angkasa dalam bentuk hidrogen dan oksigen yang terbentuk dari proses photolysis. Photolysis merupakan proses penguraian molekul, dalam hal ini molekul air menjadi hidrogen dan ion oksigen, oleh aksi dari cahaya dalam proses radiasi sinar X dan Ultraviolet, seperti yang dijelaskan dalam Jurnal Astrofisikal, 2019. 

sumber gambar: freepik
sumber gambar: freepik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun