Pergeseran Budaya Menikah di Dunia
Penurunan jumlah pernikahan di Indonesia dari data BPS mulai terlihat sejak tahun 2018, dimana jumlah pasangan yang menikah per tahunnnya menurun dari 2.016.171 pasangan per tahun pada 2018, 1.780.346 pada 2020, hingga menjadi 1.577.255 pasangan/tahun pada 2023. Di Amerika, Â saat ini hanya sekitar separuh yang memutuskan menikah, dimana pada tahun 1960 masih 72% yang menikah. Demikian juga di Jepang.Â
Penurunan jumlah pernikahan di Amerika dan Jepang tersebut ternyata meningkatkan tren yang disebut unmarried cohabitation, atau istilah kunonya kumpul kebo, yang dipublikasikan dalam statistika kependudukan di Jepang. Terdapat perbedaan antara kohabitasi di Amerika dengan di Jepang, adalah sebagian rumah tangga kohabitasi di Amerika termasuk anak-anak, sedangkan di Jepang tidak demikian.Â
Penurunan angka pernikahan dan naiknya kohabitasi, menurut Makoto Atoh dari National Institute of Population and Social Security Research, disebabkan oleh 3 hal utama yakni:Â
pertama adalah kemandirian perempuan, dimana semakin tingginya pendidikan dan penghasilan dari perempuan sehingga perempuan cenderung menuntut kesetaraan dan menolak sistem pernikahan tradisional dimana pria sebagai kepala keluarga yang menjadi pemimpin.Â
Kedua, kecenderungan mengejar aktualisasi diri sendiri pada anak muda dan mengejar kebebasan individual serta berkurangnya pengaruh religi di kalangan anak muda menyebabkan terbentuknya pola pikir bahwa perilaku reproduksi adalah suatu hak pribadi dalam rangka aktualisasi diri, bukan berdasarkan nilai-nilai dan religi, sehingga menganggap kohabitasi, aborsi, dan perceraian sebagai sesuatu yang biasa meskipun secara sosial banyak ditentang. Masalah ekonomi, atau keterbatasan ekonomi, menurut penulis hanya salah satu faktor pendorong, karena keterbatasan ekonomi dapat menyebabkan ribuan masalah selain penurunan jumlah pernikahan.
Perspektif yang Terlupakan:
Peran pernikahan dalam masyarakat adalah penekanan pada pandangan umum masyarakat tentang sesuatu yang normal, seperti dikutip dari artikel "For better or for worse: is the decline in marriage actually good for relationships?". Artinya orang yang menikah dipandang sebagai (sudah) normal, sedangkan yang belum menikah (masih lajang) perlu segera menikah, dan yang tidak mau menikah dianggap tidak normal. Sehingga menikah dalam pikiran seorang anak kecil sudah menjadi seperti cita-cita, serta direncanakan bersamaan dengan rencana pengembangan karir dan pribadinya, misalnya nanti pada umur 23 saya akan bekerja, di umur 24 saya akan memiliki kekasih, dan pada umur 27 saya akan menikah. Peran orangtua dalam mendorong anaknya untuk menikah juga sangat penting, dimana menurut laporan bahwa dua per tiga lajang di Amerika tidak merasakan adanya tekanan untuk menikah dari orangtua mereka, atau dukungan untuk menikah dari orangtua mereka.
Perspektif inilah yang apabila semakin dilupakan, menyebabkan semakin menjadinya penurunan angka pernikahan, dan berbagai perilaku lainnya seperti kohabitasi, LGBT, perceraian, dan lainnya. Menurut Brad Wilcox, seorang profesor sosiologi, pernikahan akan membawa rasa keberartian, harapan, arah, dan stabilitas yang berdampak baik bagi orangtua dan anak-anak, dimana tercipta kesetiaan, kepercayaan, dan keamanan. Dan tidak ada yang dapat menggantikan fungsi pernikahan tersebut.
Menikah adalah keputusan, dan bukanlah suatu pilihan. Dalam konsep ini, menikah adalah suatu keputusan berarti bahwa seseorang memutuskan untuk menikah apabila menemukan pasangan yang tepat dan pada waktu yang tepat. Menikah bukanlah pilihan, yang artinya tidak ada pilihan menikah atau tidak menikah, sehingga suatu saat diharapkan seseorang dapat sampai pada keputusan untuk menikah itu sendiri.