Ilustrasi - les privat (Shutterstock)
Beberapa kali saya dihubungi oleh teman saya, ibu-ibu, yang kebetulan juga anaknya satu sekolah dengan anak saya. Dan sama-sama kelas 8 SMP. Dia ingin sekali saya bisa menjadi guru les privat untuk anakya itu.Â
"Mbak, bisa ngelesi anakku?"
Begitu awalnya dia mengajukan permohonan. Saya sedikit kaget juga. Kami beberapa kali bertemu ketika mengantar-jemput anak, tapi tak pernah sekali pun dia singgung akan keinginannya itu.
"Kok tumben, ada apa anaknya?"
Saya bertanya untuk memastikan hal tersebut.
"Nilainya anakku hancur semua, Mbak. Kata kepala sekolahnya, anakku diminta untuk cari guru privat."Â
Begitulah akhirnya dia bercerita panjang lebar. Memang tempo hari, ada acara pembagian rapor sisipan. Acaranya di lantai dua. Sedangkan di lantai 1 adalah tempat kepala sekolah dan guru bidang studi yang menunggu. Mereka menunggu wali murid yang ingin berkonsultasi tentang anaknya di sekolah. Kebetulan saya tidak memerlukannya. Alhamdulillah anak saya "lolos" dan saya langsung pulang tanpa mampir ke tempat kepala sekolah.Â
Saya bertanya lebih lanjut, apakah yang dibicarakannya dengan kepala sekolah waktu itu. Pada intinya begini, Pak Kepsek menceritakan masalah belajar yang dialami oleh anaknya di dalam kelas. Jadi ketika jam pelajaran berlangsung, anak teman saya ini sebenarnya tidak gaduh atau berulah. Dia diam saja, anteng. Tapi ternyata diamnya itu karena melamun. Dia tidak memperhatikan guru sama sekali. Bahkan ketika dipanggil namanya dengan tiba-tiba, anaknya itu langsung kaget dan terkesiap. Â
Alhasil, tiada materi pelajaran yang nyantol di kepalanya. Dan berimbas pada warna-warni nilai di rapor sisipan yang terjun bebas.Â
"Matematika aja?" tanya saya waktu itu.