Malam selalu memiliki rahasia. Di sudut sebuah kafe, dua sosok duduk terpisah, namun kehadiran mereka menyatu dalam sunyi yang sama. Aku melihatmu dari kejauhan, dengan tangan menggenggam cangkir kopi yang kini hanya menyisakan ampas. Hawa malam menghembuskan sepoi angin, mengabarkan pesan yang hanya kita pahami. Kau tak menoleh, namun aku tahu matamu sedang mengawasi, melalui pantulan jendela yang membingkai kesunyian kita.
Kita sudah lama hidup dalam ruang-ruang tanpa cahaya, di antara percakapan yang tak pernah dikeluarkan dari bibir. Kita adalah bisikan yang berkelindan, menghuni celah sempit di antara ketukan detik. Cinta ini tak pernah meminta panggung, tak butuh lampu sorot. Ia tumbuh di antara celah-celah ragu, di belakang tirai-tirai senja yang malu-malu.
Malam ini, kau tersenyum padaku, meski tidak benar-benar tersenyum. Bibirmu tetap rapat, namun aku bisa merasakan keluwesan senyummu di antara gerakan jemari yang menyentuh tepi meja. Aku ingin menyapa, ingin menggenggam tanganmu, tapi kita memilih untuk tetap diam, tak ingin memecahkan gelembung kecil yang melindungi kita. Cinta ini adalah rahasia, dan rahasia terindah adalah yang tak pernah diucapkan.
Kita meninggalkan kafe itu dengan cara yang sama seperti kita masuk --- sendiri-sendiri, tak bersuara. Hujan mulai turun perlahan, menghapus jejak langkah di trotoar. Aku berjalan di belakangmu, cukup dekat untuk mendengar detak jantungmu yang dipercepat rintik hujan. Aku bisa merasakan getar yang sama dalam dadaku; ini bukan tentang ketakutan, tapi tentang kesadaran bahwa kita memilih jalan yang tak ingin dilihat siapa pun.
"Kenapa tak kau pamerkan kita?" kau bertanya sekali, di lorong sempit itu, saat malam bersembunyi di balik bayang-bayang pohon. Suaramu seperti asap, tipis, nyaris tak terdengar. Tapi aku mendengarnya dengan jelas, seperti angin yang merayapi kulit.
Aku hanya tersenyum saat itu, senyum yang tak pernah kau lihat, karena aku memalingkan wajah. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan dalam tatapanmu, sesuatu yang selalu membuatku ingin menyimpan segala hal tentang kita dalam kotak kecil yang hanya aku yang tahu letaknya.
"Kita ada, tapi tak harus dilihat," jawabku akhirnya, dengan suara lebih lembut daripada desah napas angin. Kau mengangguk, tapi tak sepenuhnya paham. Kau ingin pengakuan, ingin kita menjadi bagian dari dunia luar yang penuh sorot lampu dan suara tepuk tangan. Namun aku ingin cinta ini tetap seperti debu yang menari di sinar mentari --- indah, tapi tak pernah bisa disentuh.
**
Hari-hari bergulir seperti dedaunan yang jatuh dari pohon di musim gugur. Kita bertemu di tempat-tempat biasa, di kafe yang sama, di lorong yang sama. Ada senyuman kecil yang hanya kita yang mengerti. Ada tatapan yang menyimpan ribuan cerita yang tak perlu diceritakan. Cinta kita adalah sebuah buku yang halaman-halamannya kosong, tapi setiap lembar menyimpan jejak jemari kita, jejak yang tak terlihat.
Aku mencintaimu dalam sunyi, dalam setiap malam ketika aku terbangun dan merasakan kehadiranmu di sudut kamar, meski kau tak ada di sana. Aku tahu kau merasakan hal yang sama --- ada detik-detik di mana kita saling memikirkan, tapi tak pernah mengirim pesan. Kita hanya membiarkan gelombang perasaan itu datang dan pergi seperti ombak di pantai yang sepi.