Dalam dekade terakhir, kelapa sawit telah menjadi sumber daya penting bagi perekonomian Indonesia. Sawit bukan hanya komoditas utama dalam ekspor, tetapi juga menjadi sumber penerimaan negara dari sisi fiskal melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Di balik kontribusi ekonominya yang signifikan, sawit juga kerap dianggap sebagai penyebab utama deforestasi dan kerusakan lingkungan. Namun, peran BPDPKS dalam mengelola dana sawit juga membuka peluang untuk mengurangi emisi karbon dan memberikan manfaat tidak langsung bagi lingkungan, sekaligus memberikan penghematan bagi negara melalui penurunan dampak perubahan iklim.
BPDPKS dibentuk dengan tujuan utama untuk mendukung program pengembangan industri sawit nasional, terutama melalui pemungutan dan pemanfaatan dana dari ekspor minyak sawit mentah (CPO). Fungsi utamanya adalah mendanai program-program yang mendorong keberlanjutan industri, seperti peremajaan kebun sawit rakyat, riset, dan promosi hilirisasi. Di sisi lain, BPDPKS juga mendukung program mandatori biodiesel yang diharapkan mampu mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mengurangi emisi karbon.
Penting untuk dicatat bahwa sektor energi adalah salah satu kontributor utama emisi karbon di Indonesia. Penggunaan biodiesel berbasis sawit, yang didukung oleh BPDPKS, berperan dalam menggantikan sebagian kebutuhan bahan bakar fosil. Pengurangan emisi ini tentu memiliki potensi penghematan besar bagi negara. Dengan pengurangan emisi yang dihasilkan, negara dapat menghindari kerugian ekonomi akibat perubahan iklim yang dipicu oleh kenaikan suhu global, seperti bencana alam, peningkatan suhu ekstrem, serta kerusakan ekosistem.
Misalnya, menurut data Kementerian Keuangan, bencana alam terkait iklim seperti banjir dan kebakaran hutan merugikan Indonesia hingga Rp 100 triliun per tahun. Pengurangan emisi karbon melalui program biodiesel dapat secara signifikan mengurangi frekuensi dan skala bencana-bencana ini. Jika BPDPKS berhasil mengurangi emisi hingga 20%, maka penghematan potensi dari bencana alam bisa mencapai Rp 20 triliun per tahun. Angka ini tentu saja bersifat hipotetis, tetapi memberikan gambaran tentang betapa pentingnya pengurangan emisi bagi keuangan negara.
Di sisi lain, pengurangan emisi juga berpotensi mendatangkan keuntungan dari perdagangan karbon. Sejak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, Indonesia telah membuka peluang untuk menjadi bagian dari pasar karbon internasional. Jika BPDPKS mampu mengurangi emisi secara signifikan, pemerintah dapat menjual kredit karbon ke negara-negara maju yang memiliki kewajiban mengurangi emisi di bawah perjanjian iklim global. Dengan harga karbon internasional yang terus meningkat, ini bisa menjadi sumber pendapatan baru bagi negara.
Sebagai ilustrasi, harga karbon di pasar internasional saat ini berkisar di antara USD 10 hingga USD 40 per ton CO2 yang dikurangi. Jika program BPDPKS mampu mengurangi emisi hingga 100 juta ton CO2 per tahun, maka potensi penerimaan negara dari perdagangan karbon bisa mencapai USD 1 miliar hingga USD 4 miliar. Angka ini akan memperkuat kas negara sekaligus meningkatkan daya saing industri sawit Indonesia di kancah global.
Namun, untuk mencapai penghematan ini, BPDPKS perlu memastikan bahwa program-program yang didanai benar-benar berorientasi pada keberlanjutan. Program peremajaan kebun sawit, misalnya, harus dilakukan dengan memperhatikan aspek-aspek lingkungan seperti perlindungan hutan dan konservasi lahan gambut. Jika peremajaan dilakukan secara tidak bertanggung jawab, dampaknya justru akan memperparah deforestasi dan meningkatkan emisi karbon.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa luas lahan sawit di Indonesia mencapai 14 juta hektar, dengan sebagian besar dimiliki oleh petani kecil. BPDPKS memiliki tanggung jawab besar dalam mendukung petani-petani kecil ini agar mengadopsi praktik pertanian berkelanjutan. Jika pengelolaan kebun sawit rakyat ditingkatkan melalui program replanting, ini tidak hanya akan meningkatkan produktivitas, tetapi juga mengurangi kebutuhan ekspansi lahan yang dapat memicu deforestasi.
Selain itu, BPDPKS juga perlu berperan aktif dalam riset dan pengembangan teknologi rendah karbon. Pengembangan teknologi baru dalam produksi biodiesel yang lebih efisien dan ramah lingkungan akan berkontribusi langsung pada pengurangan emisi. Misalnya, pengembangan teknologi yang memungkinkan konversi limbah sawit menjadi energi terbarukan bisa mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil serta emisi gas rumah kaca.
Secara keseluruhan, BPDPKS tidak hanya memberikan kontribusi langsung dalam penerimaan negara melalui dukungan fiskal, tetapi juga memiliki potensi besar dalam memberikan manfaat lingkungan dan ekonomi jangka panjang. Jika Indonesia mampu mengurangi emisi karbon dengan signifikan, maka selain meningkatkan posisi tawar dalam pasar karbon, negara juga akan diuntungkan dari pengurangan biaya bencana akibat perubahan iklim.
Namun demikian, efektivitas program BPDPKS dalam mendukung pengurangan emisi sangat bergantung pada komitmen pemerintah dan pelaku industri dalam mengedepankan keberlanjutan. Apabila BPDPKS mampu menyeimbangkan antara pertumbuhan industri sawit dan perlindungan lingkungan, Indonesia bisa menjadi contoh bagi negara-negara lain dalam mengelola sumber daya alamnya secara bijak.