Ajang pemilihan presiden dan wakil presiden 2019 hampir mencapai titik puncak, jika dihitung kira-kira tinggal dua bulan lagi. Saat itu semua pasang mata mencermati paslonnya masing-masing. Apakah sudah sesuai dengan kriteria dan kehendak kita, apakah memang paslon yang kita idam-idamkan memenuhi syarat yang layak dan bisa memenuhi keinginan rakyat sesuai dengan cita-cita pembangunan nasional kita yang sejahtera, adil, dan makmur.Â
Jika kita benar-benar sebagai pemilih yang netral (bukan golput), sebenarnya kita tidak perlu masuk sebagai salah satu pendukung kedua paslon. Karena untuk memilih dengan tepat dan bijak seharusnya pikiran kita harus netral, karena pikiran netral ini membawa misi yang amat penting, disamping untuk menilai juga untuk memutuskan.Â
Coba bayangkan jika kita sudah lebih dulu mendukung salah satu paslon, bukan memilih ya tapi mendukung, otomatis pikiran kita tidak netral lagi, gampangnya berat sebelah. Dan jika sudah berat sebelah maka sejatinya hasil dari pikiran kita itu sudah tidak sehat lagi, hasil dari pikiran yang kotor, maksudnya sejak awal saya sudah nyatakan bahwa untuk memilih maka pikiran harus netral, tidak berat sebelah, barulah disitu nanti akan didapat pilihan yang tepat dari akal yang sehat, cerdas, dan bersih.
Pikiran netral ini yang seharusnya kita jaga saat akan mencoblos. Jika sudah pada waktunya, saat masuk ke dalam bilik dan diharuskan untuk memilih salah satu paslon, disaat itulah akal kita mulai berpikir, karena yang tampak dalam mata kita tidak hanya wajah dan gambar kedua paslon tetapi di samping mata ada juga akal kita yang sebelumnya telah mengumpulkan beragam informasi mengenai track record kedua paslon itu.
Disitulah nanti akal kita dijadikan sebuah ruang yang di dalamnya berisi argumen, visi-misi, dan pengetahuan dari kedua paslon yang akan saling bertempur habis-habisan untuk saling mengalahkan.Â
Dan barulah jika sudah menemui pilihan yang tepat sesuai dengan akal yang cerdas dan hati nurani yang bersih maka pilihlah paslonmu itu. Dasarnya adalah pikiran netral. Hasilnya adalah pilihan yang berkualitas, bukannya berdasar elektabilitas.
Sebenarnya supaya dihasilkan paslon yang berkualitas, menurut  pendapat pribadi tidak perlu dibentuk tim sukses, tidak perlu kampanye, karena kita dihadapkan pada pilihan, yang otomatis ukurannya adalah kemampuan, kemampuan manusianya itu, bukan hal yang lain, karena di luar itu sudah merupakan permainan politik.Â
Jika ada pertanyaan misalnya, lalu fungsi Partai Politik untuk apa, menurut saya fungsi partai politik itu untuk mencetak kader yang berkualitas bukan untuk mencetak Presiden. Presiden itu ditetapkan oleh MPR atas persetujuan rakyat. Fungsi partai politik itu menghasilkan kader yang cerdas agar bisa bertarung dengan kader dari parpol lainnya.
Hasilnya adalah kader yang mempunyai segala kecakapan, dipilih dari yang paling baik, berjiwa pemimpin, dan mempunyai cita-cita mewujudkan pembangunan nasional ke arah yang lebih baik dari sebelumnya, Â berhak menjadi pemimpin negeri ini. Semestinya saat para kader itu berjuang menuju singgasana Presiden maka segala atribut kepartaian haruslah disingsingkan, malah menurut saya politik harus dijauhkan dari ajang pemilu. Lalu bagaimana cara kita menakar kalau pilihan kita itu benar-benar tepat. Â
Saya setuju dengan KPU yang menyelenggarakan acara debat, kalau perlu tidak cuma lima kali tapi berkali-kali, tempatnya tidak hanya di hotel tapi bisa di kampus, atau di lembaga-lembaga swadaya yang ada di desa-desa, panelisnya tidak cuma sekedar menitip soal tapi datang langsung dan kiranya bisa mendebat paslon bila jawabannya tidak sesuai dengan kriteria, selain itu moderatornya tidak kaku, moderator harus luwes seperti Karni Ilyas bisa memberi pertanyaan, tapi juga bisa mendebat, apalagi membantah.Â
Namun semuanya akan sia-sia jika ajang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang seharusnya bersih tercampur dengan aroma bumbu-bumbu politik. Ujungnya dibentuklah tim sukses,  strategi pemenangan berubah menjadi  strategi penyerangan, bahkan ada intensi untuk saling menjatuhkan, muncullah berita-berita bohong, hoax merebak di media sosial, bahkan media cetak yang tidak jelas asal-usulnya, dibangunlah isu, terjadilah goreng-menggoreng.Â