Asap hitam membumbung bertegur sapa pada hujan sore dan matahari yang bersembunyi
Seruputan kopi dan aroma talas meraup nafsu pria tua dengan tangan bergetar dalam sunyi
Kaki terangkat, mata menatap, hati pergi menilisik gedung tinggi memanggil banyak hati
Belum kembali atau terlepas kasih dan dijerat bumi? Pria tua itu tak bisa mengerti
Cukup sosok yang kini berteman kayu dan mencipta asap hitam saja yang mendampingi
"Nduk, Le, Â jangan pernah lupa pada Tuhan."
Setidaknya dia telah menanam aji di atma dan di hati
Kembali ke rumah masih menjadi pilihan kesekian, pilihan utama terus terpatri membumbung tinggi
Baik-baik saja, dia masih maju untuk tetap bermesra pada Tuhannya
Dan lagi, sosok wanita tua juga selalu nyaman berada di dekapnya
Tapi tahukah kau belalang yang bertengger pada dedaunan?
Wanita tua selalu meringkuk dan memprotes Sang Kuasa di atas sajadah tuanya
Wanita tua itu juga mengerti tiap kali sang suami berdiam diri mesra dengan kepulan asap kopi
Sejatinya mereka semua rindu dan marah pada diri sendiri
Bergelut pada pertanyaan kegagalan atau keberhasilan yang telah mereka raih
Sederhana saja yang mereka dambakan, "berkunjunglah ke rumah kami, seruput kopinya dan makan talasnya."
Namun, gedung-gedung tinggi itu sepertinya memang telah mengambil alih
Terlantar atau memang pantas untuk hidup berdua saja, sangat retoris jika terus mencuat di pikiran mereka
Jadi bagaimana?
Masih sama sebenarnya, sampai mati pun rumah mereka tetap terbuka lebar untuk siapapun yang mereka sebut kasih
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI