Mohon tunggu...
Heniatul Maghfiroh
Heniatul Maghfiroh Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saya suka berorganisasi dan berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kekerasan terhadap Jurnalis

11 Juli 2024   14:40 Diperbarui: 11 Juli 2024   14:40 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

OPINI TERKAIT KEKERASAN TERHADAP JURNALIS

Oleh : Heniatul Maghfiroh (210111100039)

Dalam era informasi yang serba cepat dan digital saat ini, jurnalis memainkan peran yang sangat penting dalam menjaga arus informasi yang akurat dan bertanggung jawab kepada publik. Namun, di balik upaya mereka untuk mengungkap kebenaran dan memberikan laporan yang mendalam, para jurnalis sering menghadapi ancaman dan kekerasan yang mengintimidasi. Kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya mengancam keselamatan dan kebebasan individu jurnalis itu sendiri, tetapi juga merongrong kebebasan pers dan demokrasi. Fenomena ini mengundang perhatian serius dari berbagai kalangan, mengingat implikasinya yang luas terhadap hak asasi manusia, kebebasan berbicara, dan akses publik terhadap informasi yang independen.

Kekerasan yang terjadi kepada para jurnalis, bisa berbentuk intimidasi seperti, ancaman dan pemaksaan agar keinginan dan kemauan pelaku yang mengintimidasi tersebut dapat diikuti oleh korbannya, secara verbal ataupun nonverbal, baik secara langsung ataupun secara tidak langsung. Kekerasan bukanlah sebuah tindakan yang terpuji, kekerasan dapat berpengaruh terhadap mental korban yang menjadi turun. Intimidasi merupakan perilaku agresif, yang secara sengaja dilakukan agar menciptakan tekanan terhadap orang lain baik secara fisik maupun psikologis. Perilaku yang menyakitkan ini pada umumnya dilakukan secara berulang-ulang (Randall, 1991).

Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers) pasal 8 secara eksplisit menyatakan, bahwa dalam menjalankan tugasnya wartawan memperoleh perlindungan hukum. Akan tetapi perlindungan hukum yang dimaksud tidak begitu jelas dan tegas. Meskipun ada, maka perlindungan yang ada lebih kepada perlindungan represif, bersaranakan hukum pidana yang baru dapat diterapkan manakala suatu peristiwa kekerasan telah terjadi. Namun, tidak ada produk hukum yang secara adekwat dan spesifik memfasilitasi jaminan keselamatan terhadap wartawan dalam maknanya yang preventif, yang mencegah maupun meminimalisir terjadinya kekerasan atau dampak kekerasan. Di Undang-Undang ini juga terdapat 3 hak yang diharapkan berjalan secara bersamaan dan wajib dijalankan oleh perusahaan pers dan juga jurnalis itu sendiri, bahkan bagi masyarakat sekalipun. Hal ini terimplementasi dalam pasal 1 angka 10, 11, dan 12 UU pers yaitu: hak tolak, hak jawab, dan hak koreksi. Hak tolak merupakan sebagai hak bagi wartawan atas profesinya untuk menolak serta mengungkapkan identitas maupun nama dari hal yang harus dirahasiakan (sumber berita). Selanjutnya adalah hak jawab, yang mana merupakan hak yang melekat pada diri masyarakat (seseorang maupun kelompok masyarakat) untuk memberikan jawaban, tanggapan, maupun hal yang sifatnya sanggahan atas berita yang merugikan nama baiknya. Sedangkan hak koreksi adalah hak untuk membetulkan atas kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pihak pers, hal ini baik menyangkut tentang orang lain maupun diri sendiri.

   Faktor adanya kekerasan terhadap jurnalis, terkadang banyak juga jurnalis yang tidak melakukan etika profesi dalam menjalankan pekerjaannya dengan baik. Bahkan seringkali ada yang menyalahgunakan profesinya demi kepentingan pribadinya. Karena banyaknya jurnalis yang tidak patuh pada kode etik profesinya, hal ini juga dapat menjadi salah satu sebab mengapa tindakan kekerasan terjadi. Kode etik jurnalistik dalam hal ini menjadi legitimasi konstruksi sosial. Terutama di jaman modern dan sangat kompetitif ini, dimana batasan-batasan mendaji tidak jelas, membuat jurnalis menjadi mudah tergelincir dan mendapat berbagai masalah. Akhirnya kompetensi dari seorang jurnalislah yang dipertaruhkan. Di sisi lain penyebab kekerasan terhadap jurnalis bisa dari :

  • pemerintah otoriter, dimana negara-negara dengan rezim otoriter, jurnalis yang melaporkan berita-berita yang dianggap merugikan citra pemerintah sering kali menjadi target menjafi target kekerasan, pemerintah mungkin melakukan intimidasi, penahanan, atau bahkan pembunuhan untuk membungkam suara kritis.
  • Kelompok kriminal, dimana jurnalis yas menginvestigasi kejahatan terorganisir, misalnya perdagangan narkoba atau korupsi, yang sering kali menghadapi ancaman serius dari kelompok-kelompok kriminal yang merasa terancam oleh paparan publik.
  • Sengketa lokal, dimana daerah-daerah dengan konflik etnis atau politik, jurnalis bisa menjadi sasaran kekerasan oleh kelompok yang merasa laporan mereka tidak adil atau memihak.

Undang-Undang Pers No 40 Tahun 1999 pada dasarnya cukup menimbulkan paradoks. Disatu sisi Undang Undang ini ingin melindungin pers dan memberikan payung hukum yang jelas. Namun, dilain sisi Undang-Undang ini tidak memuat aspek-aspek delik pidana seperti yang diamanatkan dalam KUHP. Padahal, KUHP sebagai rujukan utama dari peraturan-peraturan yang berimplikasi pidana lainnya. Karena undang-Undang pers tidak menjadi bagian dari KUHP (Lex specialist), maka UU Pers No 40 tahun 1999 tidak dapat dipakai di persidangan yang melibatkan anggota pers selaku pelaku dalam tindak pidana yang ada dan diatur di dalam KUHP. Implikasi dari kondisi tersebut adalah semakin mudahnya oknum atau kelompok masyarakat yang mempidanakan pers atas dasar pencemaran nama baik. Dan dalam wujud yang lain, banyak tindak kekerasan yang dialami oleh jurnalis dari oknum masyarakat maupun apparat keamanan karena pers dinilai mendeskreditkan mereka atau melebih-lebihkan suatu informasi dari keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, jika UU Pers ingin memiliki posisi yang kuat untuk melindungi insan pers maka perlu adanya upaya untuk merevisi UU tersebut agar menjadi lex specialist dari KUHP.

Upaya penanggulangan kekerasan terhadap jurnalis ini selain pemerintah harus kuat memperkuat Undang-Undang yang melindungi jurnalis dan memastikan penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan, diperlukan dukungan internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Lembaga Hak Asasi Manusia, dapat memberikan tekanan diplomatik kepada negara-negara yang tidak melindungi jurnalis, dan kesadaran publik dimana bisa meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kebebasan pers dan dukungan terhadap jurnalis dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi jurnalis, serta pelatihan dan pendidikan yang memberikan pelatihan tentang keselamatan kepada jurnalis, terutama yang bekerja di daerah konflik atau melakukan investigasi berisiko tinggi, dapat membantu mereka mengurangi risiko. Mengatasi kekerasan terhadap jurnalis membutuhkan upaya kolaboratif dari pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas internasional, karena kebebasan pers adalah pilar penting demokrasi dan hak asasi manusia, dan melindungi jurnalis adalah langkah penting dalam menjaga kebebasan ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun