Di kampung kami, daerah Cilacap - Jawa Tengah, benda ini dinamakan pawon. Sebagian besar di pulau Jawa masih menggunakannya sebagai perapian. Pawon terbuat dari campuran tanah liat dan abu gosok, berbentuk bulat memanjang dengan dua buah lubang di atasnya tempat menaruh berbagai alat masak (kuali, panci, atau dandang). Bahan bakar yang digunakan biasanya kayu, klari (daun kelapa kering), batok kelapa, ataupun carang (ranting bambu kering).
Sejak zaman nenek saya (alm.) kecil sampai sekarang, pawon ini masih digunakan untuk memasak di keluarga kami. Setelah melalui pengamatan mendalam, ada beberapa keuntungan kalau memasak pakai pawon:
1. Anti meledak. Yah, dari anatominya saja kita bisa lihat, banyak ruang udara yang tersedia. Sehingga potensi meledak tidak ada. (kecuali ada yang menaruh bom di dalamnya) :D
2. Fungsi memanggang dan membakar jadi satu. Tidak mau kalah canggih dengan alat masak modern, pawon pun bisa sebagai tempat membakar makanan. Di bagian bawah pawon biasanya akan mengendap abu ataupun bara api. Bibi saya biasanya menggunakan itu untuk memanggang ubi, singkong, ataupun cabai bawang sebagai bahan sambal. (hmmm...jadi lapar) :p
3. Rasa makanan yang khas. Entah kenapa, berbeda dengan makanan hasil olahan perapian lain seperti gas atau minyak tanah, rasa masakan menjadi lebih nikmat. Kalau mau tahu rasanya, silakan cicipi sendiri masakan hasil olahan yang dimasak dengan pawon.
4. Penghangat alami bagi kucing. Ternyata pawon juga memberi keuntungan tidak hanya bagi manusia, bagi makhluk lain pun juga. Kucing kami ini contohnya, tanpa dikomando dia akan setia di samping pawon.
Dari banyaknya keuntungan di atas, kekurangan pawon cuma dua, yaitu kalau bahan bakarnya habis. Tapi jangan khawatir, ketersediaan bahan bakar untuk pawon di Indonesia masih dirasa cukup. Selama masih ada pohon-pohon besar yang berdiri tegak, pohon kelapa yang menjulang, dan pohon bambu yang masih mau tumbuh, dijamin pawon akan tetap eksis.
Kekurangan kedua waktu yang dibutuhkan membersihkan perkakas lebih lama. Maklum, biasanya bagian bawahnya menjadi hitam efek jelaga dan pembakaran yang terjadi. Tapi, tidak masalah, anggap saja itu olah raga yang gratis dan menyehatkan.
Jadi, kapan lagi melestarikan warisan leluhur ini kalau tidak dari sekarang? Apakah masyarakat perkotaan siap menerima keberadaannya? Silakan jawab dalam hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H