Dengan demikian, pendidikan telah terpolitisasi sehingga bersifat tidak netral. Karena penyelenggaraan pendidikan rentan ditunggangi dengan kepentingan politis untuk mencari status quo kekuasaan. Maka tidak mengherankan jika sendi –sendi pendidikan kita begitu keropos dan kehilangan sense – nya untuk mengolah daya, cipta dan karsa manusia secara utuh pada hakikat kemanusiaannya.Â
Dengan demikian seharusnya kesadaran pemerintah harus dan wajib dihidupkan dengan semangat konstitusi yaitu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka tidak hanya anggaran yang perlu didorong sesuai amanat undang – undang, tetapi perlu grand designe kurikulum pendidikan nasional yang tetap dan menunjang pada prioritas pembangunan bangsa, bukan kurikulum proyek, dimana setiap ganti menteri mesti selalu ada perubahan kurikulum dan kebijakan tentang pendidikan nasional kita.
Pendidikan hati nurani sebagai solusi
Dengan melihat dan merasakan bagaimana kondisi pendidikan kita yang sangat jauh menyimpang dari hakikatnya tersebut, tentu kita akan bertanya, lalu apa solusi dari persoalan ini? Tentu tidak cukup hanya beretorika dengan teori – teori, namun harus diwujud nyatakan dalam langkah konkret untuk membangun pendidikan kita yang relevan dan signifikan dalam konteks masyarakatnya sendiri. Akan tetapi tindakan tanpa dasar teori yang jelas dan valid juga tidak akan berguna.
 Maka kedua – duanya harus seiring dan sejalan. Dengan demikian perlu pengkajian lebih lanjut untuk mereorientasi pendidikan kita kembali pada hakikatnya yang sesuai dengan kondisi peradaban masyarakat Indonesia guna menemukan sebuah desain pendidikan yang holistik, yang tidak hanya memerangi buta aksara dan pengetahuan, tetapi juga mampu memerangi buta sosial dan buta ekologi atau lingkungan.
Tidak sepatutnya pendidikan hanya mengolah intelengensia pikiran tanpa mengasah intelegensia hati nurani. Jika demikan yang terjadi maka, pendidikan hanya membangun manusia itu secara separo saja, tidak penuh. Dan hal ini akan sangat berbahaya bagi perkembangan manusia itu sendiri dan juga orang lain. Contohnya adalah setiap pendidikan kita selama ini telah menghasilkan sekian juta orang pandai dari tingkat sarjana, master hingga doktor dan profesor.
 Namun demikian, apa yang dapat kita harapakan dari para kaum elit pendidikan ini bagi masyarakat yang sedang berjuang untuk tetap hidup? Selama ini jawabnya belum jelas. Adakah keberadaan mereka mampu memberikan kontribusi sebagai ‘agent of change’ bagi masyarakat yang sakit ini? Saya kira belum nampak nyata kontribusinya. Paling kentara, mereka hanya mampu menyumbang ide, gagasan, dan mau mengabdi pada masyarakat lewat jalur pendidikan formal yang tidak semua rakyat bisa menjangkau. Artinya pendidikan telah menjadi komunitas ekslusif dari masyarakatnya.
Dari segala keprihatinan di atas, kita dapat menyadari bahwa suka tidak suka, mau tidak mau, kita harus berani mengakui bahwa pendidikan kita selama ini berjalan ‘out of track’. Sistem pendidikan kita lebih menitikberatkan pada kemampuan dan keterampilan berpikir (teoritis) sekaligus teknis operasional dari suatu alat, tapi pengajaran atau pendidikan hati dan jiwanya tidak pernah terjadi. Pendidikan jauh dari tujuan mulianya untuk membangun manusia secara utuh sehingga memiliki kesadaran untuk menjadi agen – agen perubahan pada masyarakatnya yang tertindas. Disinilah sentuhan penting yang terabaikan dalam sistem pendidikan kita.
Hal ini bukan perkara mudah untuk diobati. Namun mengobati sekarang lebih bijak daripada nanti setelah penyakit ini menjadi lebih akut. Hanya tinggal menunggu keberanian dari mereka yang diberi kuasa untuk memikirkan perkara ini dengan bijaksana serta menentukan arah yang tepat bagi pendidikan nasional kita, sehingga pendidikan sungguh – sungguh menjadi relevan bagi pembangunan suatu bangsa.
Pageruyung, 23 September 2016
FX. Hengki Parahate